Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

MK Minta Aturan Masa Transisi Jabatan Daerah Usai Pisahkan Pemilu Lokal dan Nasional

Oleh Shila Glorya
SHARE   :

MK Minta Aturan Masa Transisi Jabatan Daerah Usai Pisahkan Pemilu Lokal dan Nasional
Foto: Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra bersama Anggota Majelis Hakim MK Ridwan Mansyur (kiri), Daniel Yusmic Foekh (kedua kiri), Arief Hidayat (ketiga kiri), Enny Nurbaningsih (kedua kanan) dan Arsul Sani (kanan) memimpin jalannya sidang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Sidang tersebut beragendakan mendengarkan keterangan dari pihak DPR dan Presiden (sumber: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Pantau - Mahkamah Konstitusi (MK) meminta DPR dan Pemerintah segera mengatur masa transisi jabatan kepala daerah dan anggota DPRD hasil Pemilu 2024 menyusul dipisahkannya pemilu lokal dari pemilu nasional mulai tahun 2029.

Putusan ini tertuang dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang menyatakan bahwa pemilu lokal akan dilaksanakan terpisah dari pemilu nasional dan harus diatur secara konstitusional.

Wakil Ketua MK Saldi Isra menjelaskan bahwa pemisahan tersebut memunculkan kebutuhan untuk merekayasa masa transisi jabatan secara konstitusional.

"Karena masa transisi/peralihan ini memiliki berbagai dampak atau implikasi, maka penentuannya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang," ungkapnya.

Ia menegaskan bahwa rekayasa konstitusional itu mencakup masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, serta kepala dan wakil kepala daerah di berbagai tingkat.

MK menyatakan bahwa pemilu lokal harus digelar paling cepat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan setelah rampungnya pemilu nasional.

Rampungnya pemilu nasional dihitung sejak pelantikan anggota DPR, DPD, atau presiden/wakil presiden hasil Pemilu 2024.

Pemilu nasional mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu lokal meliputi DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala daerah dan wakilnya.

Putusan MK atas Sejumlah Pasal Undang-Undang Pemilu

Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat kecuali dimaknai sebagai pemilu lokal dilakukan dalam waktu 2–2,5 tahun setelah pelantikan pejabat hasil pemilu nasional.

MK menegaskan, "Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden."

Hal serupa juga dinyatakan terhadap Pasal 347 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 yang dimaknai dengan ketentuan waktu pemilu lokal serentak dilaksanakan setelah pemilu nasional dalam rentang waktu yang sama.

Sementara itu, Pasal 3 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat kecuali dimaknai serupa dengan ketentuan tersebut.

"Pemilihan dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia... dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden," bunyi penafsiran MK dalam amar putusan tersebut.

Implikasi Terhadap Kebijakan Politik dan Tata Waktu Pemilu

Dengan adanya putusan ini, DPR dan Pemerintah diminta segera merumuskan regulasi masa transisi untuk menghindari kekosongan kekuasaan atau perpanjangan jabatan tanpa dasar hukum yang kuat.

MK menekankan pentingnya kejelasan transisi agar sistem demokrasi tetap berjalan sesuai prinsip konstitusional dan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum.

Penulis :
Shila Glorya