Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Megawati Soroti Pidato Bung Karno di PBB 1960 sebagai Fondasi Tata Dunia Baru di Forum Global Beijing

Oleh Arian Mesa
SHARE   :

Megawati Soroti Pidato Bung Karno di PBB 1960 sebagai Fondasi Tata Dunia Baru di Forum Global Beijing
Foto: Presiden ke-5 Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri menjadi pembicara pertama pada Dialog Peradaban Global yang digelar di Wisma Tamu Negara Diaoyutai, Beijing, China (sumber: ANTARA/HO-dok pribadi)

Pantau - Presiden ke-5 Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri, menjadi pembicara utama dalam forum Global Civilizations Dialogue yang digelar di Wisma Tamu Negara Diaoyutai, Beijing, China, pada Kamis (10/7/2025), dengan mengangkat pidato Presiden Soekarno di PBB tahun 1960 sebagai rujukan moral dalam membangun tatanan dunia baru yang lebih adil.

Soekarno dan Gagasan Dunia Baru

Dalam pidatonya, Megawati mengangkat pidato berjudul "To Build the World Anew" yang disampaikan Presiden Soekarno di Sidang Umum PBB tahun 1960.

Pidato tersebut, menurut Megawati, telah dijadikan bagian dari Memory of the World oleh UNESCO karena dinilai sebagai mercusuar nilai dan arah bagi dunia pascakolonial.

"Izinkan saya mengangkat kembali pidato yang telah menjadi mercusuar bagi generasi bangsa kami dan telah dijadikan Memory of the World oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization atau UNESCO, sebuah lembaga internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yakni pidato Presiden Soekarno di hadapan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1960 yang berjudul To Build the World A New," ungkapnya.

Megawati menyebutkan bahwa dalam pidatonya, Bung Karno menyerukan penghentian tatanan dunia lama yang dibangun di atas kapitalisme eksploitatif, kolonialisme, dan imperialisme.

"Dalam pidato tersebut, Presiden Soekarno menyampaikan dengan lantang bahwa dunia lama yang dibangun di atas kapitalisme yang eksploitatif, kolonialisme dan imperialisme harus digantikan dengan tata dunia baru," ungkap Megawati.

Tata dunia baru yang dimaksud, lanjutnya, adalah dunia yang dibangun atas dasar nilai-nilai luhur dan kemanusiaan, bukan kekuatan militer.

"Dunia baru yang beliau maksud adalah dunia yang dibangun bukan di atas senjata, tetapi di atas nilai-nilai luhur kemanusiaan. Dunia yang bukan ditentukan oleh siapa yang paling kuat, tetapi oleh siapa yang paling beradab," jelas Megawati.

Pancasila sebagai Etika Global

Dalam forum tersebut, Megawati menegaskan bahwa Pancasila bukan hanya doktrin nasional, melainkan dapat dijadikan kerangka etik global dalam membangun dunia baru.

"Untuk membangun dunia baru itu, Presiden Soekarno menawarkan falsafah Pancasila pada forum dunia bersejarah tersebut. Pancasila bukan hanya doktrin nasional untuk bangsa Indonesia, tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat digunakan sebagai kerangka etik global," ujarnya.

Ia lalu menguraikan lima sila Pancasila sebagai dasar etik global:

Ketuhanan sebagai dasar spiritual universal umat manusia.

Kemanusiaan yang adil dan beradab, menolak rasisme, penjajahan, dan kekerasan.

Persatuan yang menolak politik pecah-belah dan mendukung persaudaraan dunia.

Musyawarah dan Mufakat, yang menghormati partisipasi, bukan dominasi.

Keadilan sosial, sebagai cita-cita kesejahteraan bersama umat manusia.

Megawati juga mengutip keyakinan Bung Karno terkait pentingnya membangun dunia baru dari dasar, bukan sekadar memperbaiki sistem lama.

"Presiden Soekarno percaya bahwa jika kita ingin menyelamatkan dunia dari kehancuran maka kita harus menyusun ulang tata dunia baru ini dari dasar atau fundamen, bukan hanya menambalnya. Dan fundamen itu, bagi bangsa kami, adalah Pancasila yang nilai-nilainya juga bersifat universal," tegasnya.

Megawati menambahkan bahwa pengakuan UNESCO terhadap pidato Bung Karno merupakan bentuk pengakuan dunia terhadap kontribusi ideologis Indonesia dalam membangun peradaban global.

Forum Global Civilizations Dialogue di Beijing ini dihadiri sekitar 600 perwakilan dari 144 negara.

Selain Megawati, sejumlah tokoh internasional turut menjadi pembicara, antara lain Presiden ke-4 Namibia Nangolo Mbumba, mantan Perdana Menteri Jepang Yukio Hatoyama, mantan Perdana Menteri Mesir Essam Sharaf, mantan Perdana Menteri Belgia Yves Leterme, dan mantan Perdana Menteri Nepal Jhala Nath Khanal.

Penulis :
Arian Mesa