
Pantau - Ketua DPR RI Puan Maharani menyoroti temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait dana bantuan sosial (bansos) sebesar Rp2,1 triliun yang mengendap di lebih dari 10 juta rekening bank penerima yang sudah tidak aktif (dormant).
Menurut Puan, fakta tersebut mencerminkan lemahnya tata kelola keuangan publik, khususnya dalam perencanaan, penyaluran, dan pengawasan program bansos dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Skala rekening dormant dalam kasus ini bukanlah hal kecil. Ini adalah indikator langsung bahwa sistem verifikasi dan pemutakhiran data penerima manfaat bansos masih lemah, tidak adaptif terhadap dinamika sosial ekonomi masyarakat, dan minim pengawasan aktif," ujarnya pada Kamis, 31 Juli 2025.
Temuan PPATK dan Dugaan Penyalahgunaan
PPATK mencatat bahwa dana bansos sebesar Rp2,1 triliun mengendap di rekening bank yang tidak aktif selama lebih dari tiga tahun.
Sejak 2020, lembaga tersebut juga menemukan adanya penyalahgunaan rekening dormant berdasarkan hasil analisis dan pemeriksaan.
Lebih dari 1 juta rekening teridentifikasi terkait dengan tindak pidana, termasuk lebih dari 150 ribu rekening nominee.
Rekening nominee merupakan rekening hasil jual beli, peretasan, atau tindakan melawan hukum lainnya yang digunakan untuk menampung dana hasil kejahatan dan kemudian tidak lagi aktif.
Selain itu, lebih dari 50 ribu rekening diketahui tidak memiliki aktivitas transaksi sebelum menerima dana ilegal.
PPATK juga mengidentifikasi sekitar 2.000 rekening milik instansi pemerintah dan bendahara pengeluaran yang dalam kondisi dormant, dengan nilai total mencapai Rp500 miliar.
Lebih dari 140 ribu rekening dormant telah tidak aktif selama lebih dari 10 tahun, dengan total nilai mencapai Rp428,61 miliar.
PPATK menghentikan sementara seluruh transaksi pada rekening dormant tersebut, dan pemilik rekening dapat membuka blokir dengan mengajukan keberatan sesuai ketentuan yang berlaku.
Desakan DPR dan Solusi Jangka Panjang
Puan menekankan bahwa persoalan ini bukan sekadar masalah administratif, tetapi menyangkut akuntabilitas penggunaan dana publik.
"Ketika dana triliunan rupiah mengendap di rekening yang tidak lagi digunakan, negara tentunya kehilangan efektivitas belanja sosialnya," ucapnya.
Ia juga menyebut bahwa kondisi ini membuka ruang praktik kecurangan, termasuk pencucian uang oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Puan mendesak Kementerian Keuangan dan Kementerian Sosial untuk melakukan audit menyeluruh serta menelusuri akar masalahnya.
"Ini agar validitas data penerima manfaat dapat dipertanggungjawabkan secara faktual dan hukum," tegasnya.
Ia mendorong perbaikan sistem penyaluran bansos agar lebih adaptif, digital, dan real-time, serta memanfaatkan teknologi yang obyektif.
"Ini penting untuk menghindari pemborosan anggaran, serta memastikan bahwa bansos tersalurkan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan, bukan ke rekening fiktif, rekening mati, atau rekening nominee hasil tindak kejahatan," sebutnya.
Puan juga mengusulkan pembentukan Satuan Tugas Khusus lintas kementerian dan lembaga, termasuk PPATK, OJK, dan Bank Indonesia, untuk melacak dan mengungkap jaringan penyalahgunaan rekening dormant.
"Temuan PPATK soal lebih dari 1 juta rekening terkait tindak pidana, termasuk 150 ribu rekening nominee, menjadi sinyal bahaya bahwa sistem keuangan nasional memerlukan pengawasan lebih ketat dan berbasis risiko," ungkapnya.
Ia menekankan bahwa prinsip transparansi, akuntabilitas, dan responsivitas adalah kunci dalam membangun kepercayaan publik terhadap pemerintah.
"Ketika dana sosial yang seharusnya menjadi jaring pengaman bagi rakyat justru tersangkut dalam kebuntuan administratif dan celah kejahatan keuangan, maka negara harus bertindak cepat, tegas, dan tuntas," tegas cucu Proklamator RI Bung Karno itu.
Puan memastikan bahwa DPR RI akan terus mengawal perbaikan sistem keuangan publik dan pengelolaan bansos.
" Kami di DPR RI akan mengawal persoalan ini dan mendalami secara sistemik mengenai masalah penyaluran bansos yang tidak tepat sasaran," pungkasnya.
- Penulis :
- Shila Glorya