Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Ketua Komisi III DPR Tegaskan Amnesti untuk Tom Lembong dan Hasto Sesuai Konstitusi dan Bukan Kebijakan Luar Biasa

Oleh Shila Glorya
SHARE   :

Ketua Komisi III DPR Tegaskan Amnesti untuk Tom Lembong dan Hasto Sesuai Konstitusi dan Bukan Kebijakan Luar Biasa
Foto: Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman (sumber: DPR RI)

Pantau - Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan bahwa pemberian amnesti dan abolisi terhadap Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto merupakan pelaksanaan hak prerogatif Presiden RI yang diatur dalam konstitusi, bukan kebijakan luar biasa.

Ia menyampaikan bahwa keputusan tersebut merupakan hal yang lazim dilakukan oleh presiden-presiden sebelumnya demi kepentingan negara yang lebih luas.

"Ini bukan soal hukum semata, tapi konstitusi. Pasal 14 UUD 1945 secara jelas memberikan kewenangan kepada presiden untuk memberikan amnesti dan abolisi. Presiden Prabowo dalam hal ini menjalankan hak konstitusionalnya sebagai kepala negara," ungkapnya.

Habiburokhman menjelaskan bahwa proses permintaan amnesti dan abolisi dimulai dari keputusan presiden yang kemudian meminta pertimbangan dari DPR RI, bukan sebaliknya.

Ia menegaskan bahwa persetujuan DPR RI dalam hal ini merupakan bentuk dukungan terhadap kebijakan negara yang menyangkut kepentingan lebih besar.

Alasan Pemberian Amnesti

Habiburokhman menyoroti bahwa pemberian amnesti dan abolisi dalam lima tahun terakhir juga menjadi instrumen penting untuk mengatasi overkapasitas lembaga pemasyarakatan.

"Kalau lima tahun lalu, rata-rata kapasitas lapas itu bisa 400 persen melebihi daya tampung," ia mengungkapkan.

Menanggapi kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto, ia menyatakan bahwa keduanya tidak melakukan tindak pidana yang memperkaya diri atau merugikan negara.

"Mens rea-nya tipis sekali. Tidak ada aliran dana, tidak ada kerugian negara. Bahkan obstruction of justice juga tidak terbukti. Jadi, dari perspektif hukum, dua kasus ini tidak signifikan," ungkapnya.

Ia juga menyebut bahwa kegaduhan politik dari dua kasus tersebut bersifat tidak produktif dan bisa mengganggu stabilitas nasional.

"Ini soal menjaga persatuan demi NKRI. Dan tentu presiden punya pertimbangan yang lebih luas yang tidak selalu bisa dijelaskan secara hukum," ujarnya.

Praktik Historis yang Telah Berulang

Habiburokhman menekankan bahwa hak prerogatif presiden dalam bidang hukum bukan hal baru dan telah digunakan secara sah oleh presiden-presiden terdahulu.

Ia menyebut sejumlah Keputusan Presiden (Keppres) sebagai bukti historis dari penggunaan hak ini:

Keppres Nomor 449 Tahun 1961 dari Presiden Soekarno untuk tokoh gerakan pasca-kemerdekaan seperti Daud Beureuh, Kahar Muzakar, Kartosuwiryo, dan Ibnu Hadjar

Keppres Nomor 63 Tahun 1977 era Presiden Soeharto untuk pelaku pemberontakan Fretilin di Timor Leste

Keppres Nomor 123 Tahun 1998 untuk tokoh oposisi Orde Baru dan separatis Aceh seperti Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan

Keppres Nomor 159/1999 dan 93/2000 dari Presiden Abdurrahman Wahid untuk aktivis Orde Baru seperti Budiman Sudjatmiko dan Garda Sembiring

Keppres Nomor 22 Tahun 2005 dari Presiden SBY untuk pengampunan pihak Gerakan Aceh Merdeka

Keppres pada tahun 2016, 2019, dan 2021 dari Presiden Jokowi untuk korban jeratan UU ITE seperti Baiq Nuril, Saiful Mahdi, serta Din Minimi

"Presiden SBY juga pernah memberikan pengampunan kepada pihak Gerakan Aceh Merdeka. Jadi, ini bukan kebijakan luar biasa. Ini adalah bagian dari tugas kenegaraan," ia menegaskan.

Penulis :
Shila Glorya