
Pantau - Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, menegaskan bahwa peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia harus menjadi momentum penting untuk mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat di seluruh Indonesia.
"Peringatan Hari Kemerdekaan pada bulan Agustus ini sejatinya merupakan momentum pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak seluruh rakyat, termasuk masyarakat adat, menjadi paradoks dengan masih terhambatnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) hingga saat ini," ungkap Lestari dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema Meneguhkan Hak, Merawat Kearifan, Memperkuat Peran Masyarakat Adat di Indonesia, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 pada Rabu (6/8).
Pengakuan Hukum untuk Masyarakat Adat Dinilai Mendesak
Lestari menekankan bahwa Hari Masyarakat Adat Internasional yang diperingati setiap 9 Agustus dan dideklarasikan oleh PBB sejak 1994 seharusnya menjadi penguat komitmen terhadap keberagaman, eksistensi, dan keadilan bagi masyarakat adat.
Ia menyesalkan bahwa hingga usia kemerdekaan RI ke-80, RUU Masyarakat Hukum Adat masih belum disahkan oleh parlemen, padahal masyarakat adat telah terbukti berkontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pelestarian budaya bangsa.
"Meneguhkan hak, merawat kearifan lokal dan memperkuat peran masyarakat adat di Indonesia mesti dimulai dari pengakuan akan keberadaan seluruh masyarakat adat di Indonesia sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," tegasnya.
Menurut Lestari, tanpa pengakuan hukum yang jelas dan kuat, masyarakat adat terus berada dalam posisi rentan terhadap perampasan hak dan marginalisasi.
Ia pun mendesak agar RUU MHA segera disahkan sebagai bentuk perlindungan konkret, sekaligus pengakuan bahwa masyarakat adat adalah bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa Indonesia.
Dosen dan Aktivis Tegaskan Urgensi Payung Hukum dan Afirmasi
Dalam diskusi yang sama, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, menyampaikan bahwa masyarakat adat sebenarnya memiliki landasan filosofis dan yuridis yang kuat dalam UUD 1945.
Namun selama ini, pengaturan terkait masyarakat adat masih terpecah-pecah dan tumpang tindih, sehingga diperlukan payung hukum tunggal dan komprehensif.
Sementara itu, pendiri dan Dewan Pembina LBH APIK, Nur Amalia, menilai bahwa perlindungan terhadap masyarakat adat membutuhkan keberadaan lembaga khusus sebagai bentuk affirmative action atau tindakan afirmatif.
"Kehadiran lembaga khusus ini merupakan aspek krusial yang harus ada untuk mengatasi beda perlakuan yang terjadi antara masyarakat adat dan masyarakat umum dalam mengakses hak-hak mereka," ungkap Nur.
Ia juga mengusulkan agar dalam RUU MHA dimuat bab khusus yang mengatur perlindungan terhadap hak perempuan dan anak adat, karena mereka kerap menghadapi multi diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari.
Diskusi ini memperkuat desakan agar negara segera menunaikan tanggung jawab konstitusional dalam melindungi masyarakat adat sebagai bagian dari jalan menuju keadilan sosial dan kebangsaan yang inklusif.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf










