
Pantau - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika mempertimbangkan pemblokiran platform game online Roblox pada awal Agustus 2025. Rencana ini memicu perdebatan publik antara kebutuhan perlindungan anak dan urgensi pendidikan digital yang lebih menyeluruh.
Antara Perlindungan dan Kontroversi
Rencana pemblokiran Roblox disambut lega oleh sebagian orang tua yang khawatir terhadap paparan konten yang tidak ramah anak.
Namun, di sisi lain, muncul keraguan apakah pelarangan adalah solusi terbaik dalam jangka panjang.
Roblox bukan sekadar permainan, melainkan sebuah dunia virtual tempat anak-anak bisa bermain, menciptakan game sendiri, belajar logika, dan melakukan transaksi ekonomi digital dengan mata uang virtual Robux.
Popularitas platform ini membawa dampak positif sekaligus risiko serius.
Minimnya sistem penyaringan konten membuat banyak game buatan pengguna mengandung unsur kekerasan, horor, hingga konten seksual terselubung.
Fitur obrolan terbuka juga menimbulkan risiko perundungan siber, paparan bahasa kasar, serta interaksi yang tidak aman dengan orang asing.
Tantangan Dunia Digital Anak dan Peran Orang Tua
Penulis artikel, Pormadi Simbolon, membagikan pengalaman pribadi bahwa anaknya sempat bermain Roblox dan mengalami dinamika sosial di dalamnya—dari ucapan kasar hingga pujian saat bermain secara sportif.
Ia juga menyoroti aspek ekonomi digital di Roblox, di mana anak kerap meminta akses pembelian Robux.
Penolakan dari orang tua menjadi bagian dari pembelajaran tentang kontrol diri dan kesadaran nilai uang.
Dalam konteks ini, pemblokiran Roblox dianggap sebagai bentuk perlindungan negara terhadap anak-anak yang rentan terhadap paparan konten berbahaya.
Namun, muncul pertanyaan penting: apakah pelarangan total cukup menyelesaikan persoalan?
Di era digital saat ini, dunia anak tidak lagi dibatasi oleh pagar rumah atau jam sekolah.
Anak-anak hidup dan bersosialisasi secara digital selama 24 jam penuh.
Pelarangan satu platform mungkin efektif dalam jangka pendek, tetapi tidak menjamin perlindungan berkelanjutan karena selalu ada aplikasi dan platform baru yang bermunculan.
Yang lebih mendesak dari pelarangan adalah keterlibatan aktif orang tua dan pendidik dalam dunia digital anak.
Pengetahuan dan kesadaran digital di kalangan orang dewasa dinilai masih rendah, dengan pendekatan yang cenderung mengandalkan kontrol dan larangan semata.
Penulis menyarankan agar kurikulum sekolah mulai memasukkan materi mengenai etika digital, keamanan online, dan kesadaran jejak digital sebagai bagian penting dari pendidikan anak masa kini.
- Penulis :
- Aditya Yohan