
Pantau - Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan bahwa kekuasaan sejati adalah amanah untuk melayani rakyat, bukan sekadar simbol kekuasaan atau alat politik yang menjauh dari kebutuhan publik.
Dalam pidatonya pada Sidang Tahunan MPR RI 2025, Puan menggunakan metafora cinta segitiga untuk menggambarkan ketegangan antara aspirasi rakyat, ketersediaan anggaran, dan kepatuhan terhadap aturan hukum yang kerap menghambat kecepatan respons pemerintah terhadap persoalan rakyat.
"Bagi rakyat yang membutuhkan kehadiran negara dalam menyelesaikan persoalan hidupnya, menunggu satu hari saja terasa sangat lama. Tetapi bagi kita, para pemangku kekuasaan di DPR dan pemerintah, membahas dan mencari solusi atas persoalan rakyat sering kali berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun," ungkap Puan dalam pidatonya.
Cinta Segitiga Kekuasaan: Aspirasi, Anggaran, dan Aturan
Menurut Puan, cinta segitiga kekuasaan terdiri atas tiga unsur utama.
Pertama, aspirasi rakyat yang menuntut kepastian dan kecepatan respons negara.
Kedua, ketersediaan anggaran yang sering membatasi ruang gerak kebijakan.
Ketiga, aturan hukum yang kerap menjadi penghambat langkah-langkah cepat pemerintah.
Puan menyampaikan bahwa dengan segala sumber daya yang dimiliki negara — mulai dari birokrasi, anggaran, sumber daya alam, hingga kewenangan — rakyat berharap kehadiran negara bisa dirasakan nyata, bukan sekadar dalam pidato atau baliho.
"Kekuasaan bukan untuk menakuti rakyat, melainkan untuk menyelesaikan urusan rakyat, meskipun seringkali urusannya rumit, ibarat cinta segitiga antara aspirasi, anggaran, dan aturan," tegasnya.
Ajak Pemegang Kekuasaan untuk Move On dari Rutinitas Lamban
Puan menekankan bahwa tugas eksekutif, legislatif, dan yudikatif adalah menghadirkan kebijakan yang benar-benar melayani dan mensejahterakan rakyat, bukan sekadar menciptakan aturan tanpa implementasi yang nyata.
Keberpihakan pada rakyat, katanya, tidak boleh hanya menjadi wacana, melainkan harus diwujudkan dalam tindakan konkret dan terencana.
Ia menyatakan bahwa serumit apa pun konflik antara aspirasi, anggaran, dan aturan, selalu ada jalan keluar melalui keberanian, komitmen, dan kemampuan menyeimbangkan ketiganya.
Puan mengajak seluruh pemegang kekuasaan untuk move on dari birokrasi yang lamban, rutinitas formalitas, dan kebiasaan menunda penyelesaian masalah rakyat.
"Tugas kita bukan hanya membicarakan harapan rakyat, tetapi juga mewujudkannya. Pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya harus senantiasa mawas diri sebab kekuasaan sejatinya adalah untuk melayani, membantu, dan memberdayakan rakyat," pungkasnya.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf