
Pantau - Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menegaskan bahwa penerbitan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, akan diawasi secara ketat dengan prinsip manajemen hutan berkelanjutan.
PBPH PT SPS Masih dalam Proses
Sekretaris Ditjen Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Kemenhut, Saparis Soedarjanto, menyampaikan bahwa PBPH untuk PT Sumber Permata Sipora (PT SPS) belum diterbitkan.
Perusahaan itu masih harus memenuhi sejumlah persyaratan setelah sebelumnya mendapatkan persetujuan komitmen untuk pemanfaatan lahan seluas 20,71 ribu hektare pada tahun 2023.
" Tidak, sebetulnya makanya ada dukungan dokumen lingkungan, amdal tadi. Jadi Amdal menjadi referensi kita waktu melihat RKU (Rencana Kerja Usaha) seperti apa, jadi kan tidak mungkin kita tinggalkan," ungkapnya.
Saparis menjelaskan bahwa dalam pendekatan multiusaha kehutanan, pemegang PBPH tidak hanya dapat memproduksi kayu, tetapi juga mengelola hasil hutan bukan kayu serta jasa lingkungan.
Ia menegaskan, manajemen hutan berkelanjutan meliputi praktik tebang pilih dan larangan pembukaan lahan dengan menggantinya menjadi perkebunan sawit.
PBPH untuk PT SPS baru bisa diterbitkan setelah perusahaan menyelesaikan kewajiban penyusunan dokumen lingkungan, penentuan koordinat geografis batas areal kerja, serta pelunasan iuran PBPH.
Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, maka PBPH tidak akan diberikan, bahkan persetujuan komitmen bisa dibatalkan.
Penolakan Masyarakat dan Isu Tumpang Tindih
Sejumlah lahan yang diajukan PT SPS diketahui tumpang tindih dengan usulan hutan adat yang telah berproses sejak 2017.
Kemenhut telah berkoordinasi dengan Ditjen Perhutanan Sosial untuk mengantisipasi persoalan ini.
"Ini yang kita pertimbangkan nanti, termasuk dengan pemberian izin tadi. Jika memang nanti prioritas kebijakan ke arah hutan adat, ya sudah, itu dilepas," tegas Saparis.
Masyarakat Pulau Sipora sebelumnya menolak rencana pemberian PBPH kepada PT SPS.
Luas lahan yang diajukan mencapai 33,66 persen dari total daratan Pulau Sipora dan sebagian besar mencakup hutan adat yang telah dikelola masyarakat secara turun-temurun.
Dari total pengajuan, sekitar 6.937 hektare diketahui tumpang tindih dengan usulan hutan adat dari dua kelompok masyarakat adat.
Keberatan tersebut telah disampaikan masyarakat bersama Koalisi Masyarakat Sipil dalam pertemuan di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sumatera Barat pada 22 Mei 2025.
Alasan penolakan mencakup kekhawatiran terhadap risiko bencana ekologis, hilangnya keanekaragaman hayati, serta kerusakan lingkungan jika terjadi pembukaan lahan skala besar.
Koalisi Masyarakat Sipil mencatat bahwa dalam dua tahun terakhir, Pulau Sipora telah mengalami 29 kejadian bencana, termasuk gempa, banjir, longsor, dan abrasi pantai.
- Penulis :
- Arian Mesa








