
Pantau - Komisi XIII DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kepala Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas UU No. 13 Tahun 2006.
RUU ini merupakan inisiatif DPR yang ditujukan sebagai aturan baru yang lebih kuat dan komprehensif untuk menjamin perlindungan bagi saksi dan korban kejahatan.
LPSK Ungkap Kelemahan UU Lama dan Usulkan Perluasan Perlindungan
Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, menyebut RDP ini sebagai ruang untuk menggali berbagai persoalan yang akan menjadi dasar penyusunan materi RUU.
"RUU ini adalah inisiatif DPR yang akan dibahas mendalam bersama LPSK," ujarnya.
Ketua LPSK, Sri Nurherwati, menyampaikan bahwa selama 17 tahun pelaksanaan UU Perlindungan Saksi dan Korban, terdapat berbagai hal yang perlu diperbarui.
"Pengalaman LPSK selama 17 tahun mengimplementasikan UU ini, ada beberapa hal yang perlu disempurnakan," ungkapnya.
Beberapa isu krusial yang dinilai belum terakomodasi dalam UU saat ini antara lain adalah:
- Victim impact statement atau pernyataan dampak korban.
- Jaminan hak kepegawaian bagi saksi.
- Kendala teknis dalam pelaksanaan restitusi.
Sri menjelaskan bahwa proses restitusi kerap menemui hambatan, bahkan banyak putusan restitusi yang tidak dijalankan oleh pelaku.
"Dalam konteks restitusi, sering kali putusan restitusi mengalami kendala yang seharusnya dibayar pelaku banyak tidak terbayarkan," katanya.
LPSK juga mengusulkan perluasan cakupan tindak pidana prioritas, termasuk untuk tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan, dengan tujuan memperluas perlindungan terhadap saksi dan korban yang berada dalam risiko tinggi terhadap keselamatan jiwa.
DPR Ingatkan Implementasi Realistis dan Sinkronisasi Antar UU
Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Sugiat Santoso, mengingatkan agar usulan perluasan tidak menimbulkan tantangan teknis baru saat implementasi di lapangan.
“Bapak berharap tidak hanya tindak pidana umum dan khusus yang masuk tapi pidana lingkungan hidup dan kehutanan dan sebagainya juga masuk. Saya pikir ini akan menjadi problem teknis LPSK untuk memaksimalkan peran dalam konteks perlindungan saksi dan korban karena kita paham institusi ini ada keterbatasan SDM dan organisasi dan anggaran,” ujarnya.
Ia juga menyoroti potensi tumpang tindih regulasi, terutama dalam konteks perlindungan saksi dan korban terhadap ancaman berbasis digital.
"Bagaimana LPSK bisa memberikan perlindungan kepada saksi dan korban itu?" tanya Sugiat.
Ia mengingatkan bahwa RUU ini tidak boleh bertentangan atau tumpang tindih dengan peraturan lain seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Jangan membuat UU yang tidak mampu mengeksekusinya,” tegasnya.
DPR menekankan bahwa revisi UU ini harus bersifat realistis, aplikatif, serta mampu menjamin keadilan substantif dan perlindungan nyata bagi para saksi dan korban tindak pidana.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf








