
Pantau - Kuliah umum Menteri Pendidikan, Riset, dan Teknologi Prof. Brian Yuliarto di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) memantik semangat baru untuk mereformasi dunia pendidikan tinggi Indonesia melalui ajakan reflektif dan kritik konstruktif terhadap budaya akademik yang dinilai kurang ambisius.
Menggugat Budaya Nyaman dan Mendorong Perubahan
Dalam pemaparannya, Prof. Brian menyatakan, "Di negara dengan ekonomi bagus, selalu ada industri kuat. Di belakang industri kuat, selalu ada kampus hebat."
Pernyataan ini menjadi pemantik pertanyaan: apakah Indonesia cukup ambisius untuk menjadi bangsa yang hebat?
Salah satu kritik tajam yang ia sampaikan adalah soal “mentalitas jam lima sore” — sebuah metafora untuk budaya kerja yang minim ambisi, cepat puas, dan menghindari tantangan.
Prof. Brian menyoroti perbandingan mencolok antara aktivitas mahasiswa Indonesia dan mahasiswa di negara seperti Korea Selatan.
Jika mahasiswa Korea Selatan rela berlama-lama di laboratorium demi riset dan inovasi, mahasiswa Indonesia masih banyak yang terjebak dalam zona nyaman seperti gim, media sosial, dan tontonan hiburan.
Kritik ini bukan menyasar hiburan itu sendiri, melainkan menyoroti kurangnya sense of urgency dalam mengejar kemajuan.
Menurutnya, mahasiswa, dosen, dan guru besar sebagai profesi elite seharusnya menjadi motor penggerak kemajuan bangsa, bukan sekadar penghuni ruang kelas yang mengejar gelar dan publikasi.
Dunia kampus juga dinilai masih terjebak paradigma lama:
- Dosen lebih mengejar kutipan di jurnal bereputasi ketimbang dampak nyata dari riset.
- Penelitian menumpuk tanpa implementasi.
- Mahasiswa kuliah sekadar untuk ijazah, bukan kontribusi.
Redefinisi Peran Kampus dan Semangat Kolektif
Prof. Brian menekankan perlunya redefinisi peran dosen.
Bukan sekadar akademisi pengumpul publikasi, tapi harus menjadi inovator yang menghasilkan royalti dari riset terapan.
Riset seharusnya menyasar kebutuhan industri dan publik, berdampak pada ekonomi, dan bisa dijual untuk menghasilkan solusi nyata.
Ia juga menekankan bahwa dosen tidak bisa bekerja sendiri.
Wakil Rektor bidang kerja sama dan pusat penelitian harus menjadi penghubung aktif antara kampus dan dunia luar.
Idealnya, kantor mereka bukan berada di dalam kampus, tetapi di kawasan industri, lobi kementerian, atau ruang rapat asosiasi bisnis seperti Kadin.
Mereka harus menjadi "duta besar kampus" yang menjemput peluang dan memasarkan hasil riset ke dunia nyata.
Prof. Brian mengutip pemikiran Prof. Michael Porter dari Harvard, bahwa inovasi tidak lahir dalam isolasi.
Ia mencontohkan Korea Selatan sebagai negara yang berhasil membangun ekosistem inovasi yang kuat antara kampus (KAIST, SNU) dan industri (Samsung, Hyundai).
Sementara itu, di Indonesia, kolaborasi seperti ini masih terbatas dan sering terhambat oleh birokrasi, ketakutan, serta mentalitas "jam lima sore".
Tiga Tantangan Sistemik yang Perlu Dibenahi
Sistem insentif kampus
Dosen saat ini lebih dihargai berdasarkan jumlah publikasi daripada dampak konkret dari riset.
Solusinya: adopsi model Fraunhofer Society dari Jerman yang menekankan riset terapan, paten, dan produk komersial.
Redefinisi peran Wakil Rektor dan Pusat Penelitian
Mereka harus menjadi negosiator andal, punya jaringan luas, dan memahami kebutuhan pasar.
Ini membutuhkan pelatihan agar bisa keluar dari budaya akademik yang tertutup.
Peran mahasiswa
Mahasiswa harus dibentuk sebagai agen perubahan, bukan sekadar pemburu nilai.
Kurikulum perlu mendorong pemikiran kritis, kreativitas, dan kewirausahaan.
Program konkret seperti magang industri, proyek kolaboratif, dan inkubator startup harus diperluas.
Prof. Brian menegaskan perlunya transisi dari mentalitas "jam lima sore" menuju semangat kerja keras "jam sembilan malam".
Ia menyampaikan bahwa kemajuan bukanlah hadiah, melainkan hasil dari keringat, ambisi, dan kegigihan.
Ia juga mengajak dosen untuk merenung:
- Apa peran saya dalam ekosistem ini?
- Apakah saya cukup "gila" untuk mendorong mahasiswa keluar dari zona nyaman?
- Apakah riset saya relevan dan berdampak nyata?
Kepada bangsa ini, ia melempar pertanyaan yang lebih besar: Apakah kita siap mengorbankan kenyamanan demi ambisi besar?
Mengutip Thomas Edison: "Genius is one percent inspiration and ninety-nine percent perspiration."
Perubahan, menurut Prof. Brian, hanya akan lahir dari tindakan kolektif:
- Dosen harus berinovasi.
- Mahasiswa harus berani bermimpi besar.
- Kampus harus menjadi jembatan antara dunia akademik dan industri.
Pemerintah harus menciptakan kebijakan pro-kolaborasi, misalnya melalui insentif pajak untuk perusahaan pendukung riset kampus.
Narasi Prof. Brian bukan sekadar kritik, melainkan ajakan untuk bergerak bersama.
Mentalitas "jam sembilan malam" telah membawa Korea Selatan dan negara-negara maju lain ke puncak inovasi.
Pertanyaannya: maukah Indonesia menempuh jalan terjal itu, atau tetap berjalan santai menuju stagnasi?
- Penulis :
- Aditya Yohan