
Pantau - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bersama Komisi XIII DPR RI menjalin sinergi dalam memperkuat perlindungan saksi dan korban tindak pidana, terutama di wilayah daerah, melalui kegiatan sosialisasi bertajuk Urgensi Perlindungan Saksi dan Korban dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana yang diselenggarakan di Pontianak.
Sinergi Lintas Lembaga untuk Perlindungan Korban
Wakil Ketua LPSK Mahyudin menyampaikan bahwa kegiatan tersebut bertujuan mendorong kolaborasi antarinstansi dalam memperkuat sistem perlindungan saksi dan korban di Kalimantan Barat.
Sosialisasi dihadiri oleh anggota Komisi XIII DPR RI Franciscus Maria Agustinus Sibarani, Sekretaris Jenderal LPSK Sriyana, perwakilan pemerintah daerah, aparat penegak hukum, akademisi, lembaga bantuan hukum, pendamping korban, media, serta masyarakat sipil.
Mahyudin menjelaskan bahwa kesadaran masyarakat terhadap pentingnya perlindungan hukum semakin meningkat, namun akses terhadap layanan LPSK di Kalimantan Barat masih terbatas.
Sepanjang tahun 2024, tercatat 108 permohonan perlindungan dari wilayah Kalbar, dengan sebaran tertinggi dari Kota Pontianak sebanyak 58 permohonan dan Kabupaten Kubu Raya sebanyak 16 permohonan.
Sebagian besar permohonan berasal dari kasus kekerasan seksual terhadap anak sebanyak 67 kasus.
“Setiap permohonan mencerminkan keberanian masyarakat untuk melapor dan mencari perlindungan sebagai langkah penting menuju keadilan,” ungkap Mahyudin.
Namun, ia menambahkan bahwa masih banyak korban yang belum berani melapor karena rasa takut, stigma sosial, serta kurangnya informasi mengenai hak perlindungan hukum yang dijamin undang-undang.
LPSK terus memperkuat pendekatan preventif melalui edukasi dan pelibatan masyarakat, salah satunya lewat program Sahabat Saksi dan Korban (SSK) yang telah tersebar di 14 provinsi, termasuk 58 relawan aktif di Kalimantan Barat.
Para relawan tersebut berperan membantu masyarakat mengenal dan mengakses layanan perlindungan yang disediakan oleh LPSK.
Mahyudin menegaskan bahwa perlindungan saksi dan korban tidak dapat dilakukan oleh LPSK sendiri, tetapi memerlukan kolaborasi antara aparat penegak hukum, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, organisasi masyarakat, dan komunitas.
“Perlindungan merupakan kerja kemanusiaan yang hanya bisa berjalan bila semua pihak terlibat,” tegasnya.
Dorongan Legislasi untuk Perkuat Sistem Perlindungan
Anggota Komisi XIII DPR RI Franciscus Maria Agustinus Sibarani menilai bahwa sistem perlindungan saksi dan korban di daerah masih menghadapi tantangan, terutama dalam hal regulasi, sumber daya manusia, dan koordinasi lintas lembaga.
“Komisi XIII DPR RI berkomitmen memperkuat sistem perlindungan tersebut melalui pembahasan RUU Perubahan Kedua atas UU Nomor 13 Tahun 2006 yang telah masuk dalam Prolegnas 2025,” ujarnya.
Franciscus menambahkan bahwa penguatan undang-undang diharapkan dapat mencakup aspek kelembagaan, dukungan anggaran, dan sinergi antarinstansi.
Secara nasional, LPSK mencatat 10.217 permohonan perlindungan sepanjang 2024, meningkat 34 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Meski meningkat, angka tersebut masih kecil dibandingkan dengan 584.991 kasus kejahatan yang tercatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023.
Permohonan tertinggi berasal dari kasus tindak pidana pencucian uang sebanyak 2.017 kasus, diikuti pelanggaran HAM berat sebanyak 1.620 kasus, perdagangan orang 981 kasus, dan kekerasan seksual 581 kasus.
Mahyudin menjelaskan bahwa peningkatan jumlah permohonan menunjukkan tumbuhnya kepercayaan publik terhadap LPSK, namun juga menandakan masih adanya kesenjangan akses perlindungan di daerah.
Ia menegaskan bahwa perlindungan tidak hanya menyangkut keamanan fisik, tetapi juga hak prosedural, bantuan hukum, medis, psikologis, hingga rehabilitasi sosial.
Tujuan utama LPSK adalah memastikan saksi dan korban dapat pulih serta berani bersuara sebagai bentuk nyata dari keadilan.
Melalui kegiatan sosialisasi ini, LPSK dan Komisi XIII DPR RI berharap masyarakat semakin memahami bahwa perlindungan saksi dan korban merupakan hak konstitusional, bukan sekadar fasilitas hukum.
Hak tersebut menjadi fondasi penting untuk mewujudkan sistem peradilan yang adil, manusiawi, dan berpihak pada korban.
- Penulis :
- Arian Mesa