
Pantau - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Sekretaris Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (Sesditjen Binalavotas) Kementerian Ketenagakerjaan, Memey Meirita Handayani (MMH), terkait dugaan penggunaan uang hasil tindak pemerasan dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di lingkungan Kemenaker.
Pemeriksaan dan Konfirmasi Penggunaan Dana
“Terhadap saksi MMH, penyidik meminta konfirmasi mengenai penggunaan uang hasil dugaan tindak pemerasan TKA dari tersangka GW (Gatot Widiartono),” kata Juru Bicara KPK dalam keterangan tertulisnya, Jumat (10/10).
Pemeriksaan terhadap Memey Meirita dilakukan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, sebagai bagian dari upaya penelusuran aliran dana hasil dugaan pemerasan tersebut.
Selain MMH, KPK juga memeriksa dua saksi lain, yakni AP selaku notaris dan AYM dari pihak swasta.
“Dalam pemeriksaan tersebut, saksi AP dan AYM didalami terkait 26 bidang aset tanah milik tersangka JS (Jamal Shodiqin) dan HY (Haryanto) yang disita di wilayah Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah,” ungkap KPK.
Kasus Pemerasan di Lingkungan Kemenaker
Kasus ini bermula dari dugaan praktik pemerasan dalam proses penerbitan izin RPTKA yang dilakukan sejumlah aparatur sipil negara di Kementerian Ketenagakerjaan.
Pada 5 Juni 2025, KPK telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka, yaitu Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
Menurut hasil penyidikan, para tersangka diduga melakukan pemerasan terhadap perusahaan pengguna tenaga kerja asing antara tahun 2019 hingga 2024, yakni selama masa jabatan Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah.
Total uang yang berhasil dikumpulkan dari praktik tersebut mencapai sekitar Rp53,7 miliar.
Modus Pemerasan dan Sejarah Kasus
RPTKA merupakan dokumen wajib bagi perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing di Indonesia.
Tanpa RPTKA, izin kerja dan izin tinggal tenaga kerja asing tidak dapat diproses, dan perusahaan pengguna TKA bisa dikenai denda sebesar Rp1 juta per hari.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh para tersangka untuk meminta sejumlah uang agar proses penerbitan RPTKA dipercepat.
KPK juga mengungkap bahwa praktik pemerasan terkait RPTKA diduga telah berlangsung sejak masa kepemimpinan Menteri Abdul Muhaimin Iskandar (2009–2014), kemudian berlanjut pada masa Hanif Dhakiri (2014–2019), hingga periode Ida Fauziyah (2019–2024).
Penahanan dan Penelusuran Aset
Delapan tersangka telah ditahan dalam dua tahap, yakni empat orang pada 17 Juli 2025 dan empat orang lainnya pada 24 Juli 2025.
KPK terus melakukan pemeriksaan terhadap para saksi untuk menelusuri aliran uang dan aset hasil kejahatan dalam kasus ini, termasuk dugaan pemanfaatan dana oleh sejumlah pejabat di lingkungan Kemenaker.
Kasus ini menjadi salah satu fokus penyidikan besar KPK pada 2025 di sektor ketenagakerjaan, khususnya terkait penyalahgunaan wewenang dalam pelayanan tenaga kerja asing.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf