
Pantau - Dr. Fahrus Zaman Fadhly dalam artikelnya yang diterbitkan oleh ANTARA pada Selasa, 14 Oktober 2025, mengusulkan agar istilah “skripsi”, “tesis”, dan “disertasi” dalam pendidikan tinggi Indonesia dievaluasi ulang agar lebih sesuai dengan hakikat perkembangan ilmu pengetahuan.
Menurutnya, penggunaan ketiga istilah tersebut selama ini kurang tepat secara konseptual bila ditinjau dari logika keilmuan dan filsafat ilmu.
Ilmu sebagai Proses Dialektika, Bukan Ujian Administratif
Penulis menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan bersifat dinamis dan berkembang melalui proses dialektika antara tesis dan antitesis, yang pada akhirnya menghasilkan sintesis.
Ia mengutip pemikiran Hegel (1977) yang menyatakan bahwa perkembangan ilmu muncul dari pertarungan ide-ide yang bertentangan.
Thomas Kuhn (1962) menambahkan bahwa revolusi ilmu biasanya lahir dari situasi anomali, bukan dari kondisi normal.
Sementara itu, Karl Popper (1959) menekankan bahwa kebenaran ilmiah selalu bersifat sementara dan terbuka terhadap koreksi.
Paul Feyerabend (1975) juga disebut untuk mendukung gagasan bahwa ilmu berkembang karena terus diuji dan dipertanyakan.
Dalam konteks tersebut, karya ilmiah mahasiswa seharusnya dipahami sebagai bagian dari perjalanan intelektual, bukan sekadar formalitas akademik.
Usulan Makna Baru: Tesis, Antitesis, Sintesis
Berdasarkan logika dialektika, Fahrus menawarkan penafsiran ulang terhadap jenjang karya ilmiah mahasiswa:
- Di tingkat sarjana, tesis dimaknai sebagai upaya awal mahasiswa dalam merumuskan posisi keilmuannya.
- Di tingkat magister, antitesis menjadi ruang pengujian atau perluasan terhadap gagasan awal tersebut.
- Di tingkat doktoral, sintesis menggambarkan kemampuan tertinggi dalam membentuk kerangka konseptual baru dari berbagai pemikiran yang telah diuji.
Ia menegaskan bahwa perubahan istilah ini bukan semata persoalan linguistik, tetapi mencerminkan arah berpikir akademik yang menempatkan ilmu sebagai arena dialog ide yang terus berkembang menuju pemahaman yang lebih tinggi.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf