
Pantau - Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Bachtiar, menyoroti fenomena rendahnya keterlibatan masyarakat dalam proses pemerintahan setelah pemilihan kepala daerah (pilkada), meskipun tingkat partisipasi saat hari pemilihan tergolong tinggi.
Menurutnya, masyarakat cenderung aktif hanya pada saat memberikan suara di tempat pemungutan suara (TPS), tetapi pasif dalam mengawal kebijakan pemimpin yang mereka pilih.
“Setelah terpilih itu masyarakatnya masih ikut (berpartisipasi) nggak? Oh ternyata setelah saya pilih kepala daerah ini sama saja. Kalau itu timbul maka pada pilkada berikutnya masyarakatnya bisa apatis,” kata Bachtiar dalam diskusi peluncuran Indeks Partisipasi Pilkada 2024 yang diselenggarakan oleh KPU RI di Jakarta, Sabtu (18/10/2025).
Rendahnya Keterlibatan dan Dugaan Politik Uang
Berdasarkan catatan Kemendagri, mayoritas masyarakat tidak terlibat secara aktif dalam pembuatan kebijakan di tingkat daerah.
Ironisnya, kepala daerah yang bersangkutan kerap kembali terpilih dalam pilkada berikutnya.
“Pemilihnya datang ramai-ramai ke TPS memilih kepala daerahnya, bupati, wali kota, gubernur. Lima tahun dia bekerja, masyarakatnya tidak ada hubungannya. Membuat kebijakan, tidak ada hubungannya dengan kepemilihan tadi, dan hebatnya terpilih lagi orang yang sama,” ungkap Bachtiar.
Ia menilai bahwa tingginya angka partisipasi lebih bersifat mobilisasi daripada partisipasi politik yang berkualitas.
“Jadi, saya mendeteksi ini ada persoalan yang serius yang kita harus bicarakan dalam soal partisipasi politik termasuk dengan pemilih,” katanya.
Permisif terhadap Politik Uang, Demokrasi dalam Bahaya
Dalam sejumlah riset, ditemukan bahwa sekitar 70 persen masyarakat Indonesia bersikap permisif terhadap praktik politik uang.
Fenomena ini menunjukkan bahwa banyak pemilih yang datang ke TPS bukan karena kesadaran politik, melainkan karena motif transaksional.
Bachtiar menyampaikan kekhawatiran bahwa korelasi antara partisipasi tinggi dan politik uang dapat merusak kualitas demokrasi secara menyeluruh.
Ia juga mengingatkan agar permasalahan ini tidak dibebankan sepenuhnya kepada KPU atau penyelenggara pemilu.
“Saya terus terang agak serius dengan hal seperti ini. Juga jangan pula kita bebankan soal ini hanya kepada KPU atau penyelenggara pemilu,” ujarnya.
Bachtiar mendorong adanya pembenahan sistemik, termasuk alternatif mekanisme pemilu dan pilkada yang dapat meningkatkan kualitas partisipasi publik.
- Penulis :
- Aditya Yohan