
Pantau - Ombudsman Republik Indonesia mendorong perbaikan tata kelola industri kelapa sawit nasional agar bersih dari praktik malaadministrasi yang berpotensi merugikan negara hingga Rp279,1 triliun per tahun.
Ketua Ombudsman RI, Mokhammad Najih, menyampaikan bahwa kajian sistemik lembaganya menemukan masih tingginya potensi malaadministrasi dalam layanan publik di sektor sawit, terutama terkait aspek lahan, perizinan, tata niaga, dan kelembagaan.
"Tata kelola industri sawit kita masih menghadapi berbagai tantangan, mulai dari aspek tumpang tindih, perizinan, konflik lahan, lemahnya kemitraan antarperusahaan dan petani, hingga isu lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar perkebunan itu sendiri," ungkapnya.
Industri sawit merupakan komoditas strategis nasional dengan luas lahan lebih dari 16 juta hektare yang tersebar di 25 provinsi, menyerap sekitar 16 juta tenaga kerja, dan menyumbang devisa ekspor lebih dari 35 miliar dolar AS setiap tahunnya.
Namun, menurut Najih, tantangan besar dalam tata kelola berisiko menghambat keberlanjutan dan kesejahteraan bersama yang seharusnya menjadi tujuan utama sektor ini.
Aspek Lahan dan Perizinan Jadi Sorotan Utama
Ombudsman mencatat masih adanya tumpang tindih izin perkebunan sawit dengan kawasan hutan seluas sekitar 3,22 juta hektare, melibatkan sekitar 3.200 subjek hukum.
Dari jumlah tersebut, baru sekitar 6 persen yang telah diselesaikan secara hukum, sehingga menimbulkan ketidakpastian dan menunda layanan hak atas tanah.
Dampak dari ketidakpastian ini diperkirakan menyebabkan kerugian hingga Rp76,8 triliun per tahun karena penurunan produktivitas lahan.
Di sisi perizinan, dari 2,3 juta lahan sawit rakyat, hanya 1,54 persen yang memiliki Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), dan hanya 0,86 persen yang bersertifikat ISPO.
"Lemahnya sumber daya manusia (SDM) di daerah, tumpang tindih lahan, serta sistem sertifikasi yang belum efektif menjadi faktor utama," ia mengungkapkan.
Rendahnya sertifikasi dan penggunaan bibit non-standard berkontribusi pada potensi kerugian hingga Rp185,7 triliun per tahun akibat rendahnya produktivitas.
Dualisme Regulasi dan Lemahnya Integrasi Kelembagaan
Dalam aspek tata niaga, ditemukan dualisme pemberian izin pabrik kelapa sawit oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian, yang menyebabkan ketimpangan harga Tandan Buah Segar (TBS) dan ketidakpastian dalam rantai pasok.
Ketidakseimbangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan limbah cair sawit (POME) juga dinilai membuka celah manipulasi laporan ekspor, yang berpotensi menimbulkan kerugian hingga Rp11,5 triliun per tahun.
Terkait kelembagaan, Ombudsman menyoroti belum adanya integrasi regulatif antar-kementerian dan lembaga, sehingga meningkatkan risiko pengabaian kewajiban hukum dan pelayanan publik yang tidak optimal.
Najih menyampaikan bahwa total kerugian akibat seluruh potensi malaadministrasi ini mencapai Rp279,1 triliun per tahun.
Sebagai bentuk upaya penyelesaian, Ombudsman RI meluncurkan buku "Sawit: Antara Emas Hijau dan Duri Pengelolaan".
Buku ini tidak hanya memuat akar masalah dan kajian sistemik, tetapi juga ditujukan untuk menyosialisasikan rekomendasi Ombudsman kepada pemerintah, pembuat kebijakan, pelaku usaha, asosiasi, akademisi, dan masyarakat umum.
"Dalam buku ini juga kita diingatkan bahwa keberhasilan ekonomi tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, dan keadilan yang layak bagi publik," ujar Najih.
- Penulis :
- Shila Glorya