
Pantau - Generasi milenial (lahir 1981–1996) dan generasi Z (lahir 1997–2011) kini menjadi mayoritas di angkatan kerja dan memegang peranan penting dalam menjaga kesinambungan fungsi sumber daya manusia (SDM) di berbagai sektor.
Generasi Baru, Tantangan Baru: Komitmen Organisasi Rendah
Studi menunjukkan bahwa generasi Y dan Z memiliki tingkat komitmen organisasi yang lebih rendah dibandingkan generasi sebelumnya.
Generasi ini tumbuh di era digital, sangat melek teknologi, fleksibel, bebas berekspresi, dan menuntut lingkungan kerja yang mendukung kreativitas.
Oleh karena itu, pendekatan SDM konvensional dinilai tidak lagi relevan untuk mengelola mereka secara efektif.
Prof Dr Sylvia Diana Purba SE ME, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Jaya, menegaskan pentingnya pendekatan manajemen SDM yang adaptif.
"Pendekatan manajemen sumber daya manusia perlu beradaptasi dengan kebutuhan mereka, seperti melalui penerapan kerja fleksibel atau hibrida," ungkapnya.
Sistem kerja hibrida, yang menggabungkan kerja di kantor (on-site) dan kerja jarak jauh (remote work), dinilai mampu meningkatkan kepuasan kerja sekaligus memperkuat komitmen terhadap organisasi.
Model ini merupakan bagian dari praktik flexible working arrangements dalam manajemen SDM modern, yang memungkinkan penyesuaian antara kebutuhan bisnis dan preferensi karyawan.
Komitmen Bisa Ditingkatkan Jika Nilai Selaras
Sylvia menjelaskan bahwa generasi Z memiliki komitmen paling rendah, namun mampu menunjukkan interaksi dan keterlibatan tinggi jika nilai pribadi mereka selaras dengan nilai organisasi.
Sementara itu, generasi milenial cenderung lebih stabil apabila mendapatkan makna dalam pekerjaan, fleksibilitas, serta perhatian terhadap kesejahteraan.
“Kondisi ini berbanding terbalik dengan generasi sebelum mereka yakni X dan baby boomers yang cenderung memiliki komitmen kuat dan loyalitas tinggi,” tambah Sylvia.
Rendahnya komitmen organisasi dari generasi muda ini dinilai bisa berbahaya bagi keberlangsungan organisasi dalam jangka panjang.
Dampaknya mencakup meningkatnya angka turnover, naiknya biaya rekrutmen dan pelatihan, serta turunnya produktivitas tim.
Generasi Y dan Z dinilai lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada loyalitas terhadap organisasi.
Ketika nilai-nilai pribadi tidak sejalan dengan nilai perusahaan, mereka cenderung cepat mengambil keputusan untuk keluar.
"Tentu saja, ini berbahaya karena melemahkan kohesi tim, budaya organisasi, serta keberlangsungan strategi jangka panjang, termasuk ketersediaan talenta internal untuk suksesi kepemimpinan," jelas Sylvia.
Generasi milenial dan Z juga menunjukkan kecenderungan untuk tidak bertahan lama di satu tempat kerja jika mereka tidak merasa memiliki keterikatan nilai dengan organisasi tersebut.
- Penulis :
- Aditya Yohan
- Editor :
- Tria Dianti








