
Pantau - Pemerintah melalui Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot, menegaskan bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) kini diposisikan sebagai pilar strategis dalam upaya transisi energi menuju target net zero emission (NZE) tahun 2060.
PLTN tidak lagi dipandang sebagai opsi terakhir, melainkan menjadi bagian penting dalam perencanaan energi nasional untuk memperkuat ketahanan energi dan menurunkan emisi karbon.
PLTN Masuk Dalam Peta Jalan Energi Nasional
Yuliot mengungkapkan, "PLTN sebagai salah satu opsi strategis dalam peta transisi energi nasional dalam mencapai net zero emission 2060. PLTN tidak lagi dianggap sebagai opsi terakhir, melainkan sebagai bagian penting dari perencanaan energi nasional."
Langkah ini sejalan dengan Astacita butir kedua yang menekankan pentingnya memperkuat pertahanan dan keamanan nasional, mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, dan air, serta mengembangkan ekonomi hijau dan biru.
Indonesia disebut telah memiliki sejarah panjang dalam pengembangan teknologi nuklir sejak 1960-an, dan sampai saat ini telah membangun tiga reaktor riset, yaitu:
Reaktor Triga di Bandung, Jawa Barat, dengan kapasitas 2 MW.
Reaktor Kartini di Yogyakarta, DIY, dengan kapasitas 100 kW.
Reaktor Serpong di Banten, dengan kapasitas 30 MW.
Target Operasional dan Tantangan Pengembangan
Pengembangan energi nuklir di Indonesia memiliki dasar hukum kuat, antara lain:
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1967 tentang Ketenaganukliran.
Rencana pembangunan PLTN dalam RPJPN 2025–2045.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Dalam dokumen PP Nomor 45 Tahun 2025, pemerintah menegaskan komitmen untuk mulai mengoperasikan PLTN pertama pada tahun 2032 dan mencapai kapasitas total 44 GW pada tahun 2060.
Dari total kapasitas tersebut, sekitar 35 GW akan digunakan untuk kebutuhan listrik umum dan 9 GW dialokasikan untuk produksi hidrogen nasional.
Sesuai proyeksi, porsi energi nuklir dalam bauran energi nasional akan mencapai 5 persen pada tahun 2030, dan meningkat hingga 11 persen pada tahun 2060.
Meski prospeknya menjanjikan, Yuliot mengakui bahwa pengembangan PLTN menghadapi sejumlah tantangan, terutama dari segi pendanaan dan waktu konstruksi.
Biaya pembangunan satu unit PLTN diperkirakan mencapai 3,8 miliar dolar AS, dengan durasi konstruksi antara empat hingga lima tahun.
Selain itu, pemerintah juga memperhatikan kekhawatiran masyarakat terhadap risiko bencana alam yang berpotensi mengancam keselamatan.
Untuk itu, aspek keselamatan akan dipastikan melalui mitigasi risiko yang ketat, pengawasan intensif, dan penguatan kerja sama internasional.
Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) akan memegang peran kunci sebagai lembaga pengawas utama dalam pengoperasian tenaga nuklir di Indonesia.
- Penulis :
- Arian Mesa










