
Pantau - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat bahwa total nilai restitusi yang diajukan oleh korban tindak pidana dari Januari hingga September 2025 mencapai Rp33,05 miliar.
Data tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua LPSK, Wawan Fahrudin, dalam acara media gathering di Bandung, Jawa Barat, pada Selasa malam (4/11/2025).
Namun, dari total tersebut, hanya sebagian kecil yang telah dibayarkan oleh pelaku, mengindikasikan lemahnya efektivitas sistem restitusi yang murni bertumpu pada tanggung jawab pelaku.
Realisasi Restitusi Masih Rendah
Berikut rincian realisasi restitusi menurut data LPSK:
- Restitusi yang masuk dalam tuntutan jaksa: Rp9,28 miliar (28,1%)
- Restitusi yang diputus oleh hakim: Rp7,17 miliar (21,7%)
- Restitusi yang telah dibayar oleh pelaku: Rp3,22 miliar (9,7%)
“Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa sistem restitusi yang murni bertumpu pada kemampuan pelaku belum mampu menjamin keadilan bagi korban,” ujar Wawan.
Ia menegaskan perlunya optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor penegakan hukum sebagai sumber alternatif pendanaan bagi restitusi yang belum terbayar.
Dorongan Penguatan Dana Abadi Korban (DBK)
Langkah ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2025 tentang Dana Bantuan Korban, turunan dari UU Tindak Pidana Kekerasan Sosial Nomor 12 Tahun 2022, serta sejalan dengan konsep Dana Abadi Korban (DBK) yang tengah diusulkan dalam Rancangan Undang-Undang KUHAP.
DBK bertujuan memberikan kompensasi dan rehabilitasi kepada korban yang belum mendapatkan haknya meski telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
“Kehadiran negara melalui DBK bukan untuk mengambil alih kewajiban pelaku, melainkan menutup kekosongan agar korban tetap mendapatkan haknya atas pemulihan,” tegas Wawan.
Saat ini, PNBP dari denda dan hasil penegakan hukum disetorkan ke kas negara dan masuk dalam DIPA Kejaksaan Agung.
LPSK mengusulkan agar sebagian dari penerimaan tersebut dialokasikan untuk mendukung keberlanjutan DBK.
Sumber Pendanaan DBK dan Tantangan Keberlanjutan
PP 29/2025 memberikan dasar hukum bagi negara untuk menanggung pembayaran restitusi yang tidak mampu dibayar pelaku, demi menjamin pemulihan psikologis, medis, dan sosial bagi korban.
Dua sumber pendanaan DBK yang telah diatur meliputi:
- Hibah, seperti dari masyarakat, CSR, dan filantropi
- APBN, yang dialokasikan melalui DIPA LPSK
- Namun, menurut Wawan, kedua sumber tersebut belum cukup menjamin keberlanjutan program.
Ia mengusulkan pemanfaatan PNBP penegakan hukum, yang menurut data Direktorat Jenderal Anggaran Kemenkeu tahun 2023, mencapai Rp9,47 triliun.
“Skema ini juga mencerminkan prinsip keadilan restoratif, di mana hasil penegakan hukum negara dikembalikan untuk kepentingan korban tindak pidana,” jelas Wawan.
Dorongan Sinergi Lintas Lembaga
Untuk merealisasikan hal ini, LPSK mendorong adanya dukungan lintas lembaga, terutama dari Kementerian Keuangan dan Kejaksaan Agung, agar pengelolaan dan alokasi PNBP dapat diatur secara proporsional dan berkelanjutan.
Wawan menutup dengan menekankan pentingnya sinergi antarlembaga dalam memastikan bahwa setiap rupiah hasil penegakan hukum benar-benar berdampak bagi pemulihan korban.
- Penulis :
- Aditya Yohan







