
Pantau - Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto menegaskan pentingnya optimalisasi perlindungan jaminan kesehatan bagi seluruh masyarakat, termasuk kalangan pekerja media, sebagai bagian dari amanat konstitusi yang harus diwujudkan negara.
Menurutnya, hak atas pelayanan kesehatan telah diatur dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh akses layanan kesehatan yang layak.
Konsep tersebut, lanjut Edy, sejalan dengan Universal Health Coverage atau "Sehat untuk Semua", yang menjadi standar global sistem jaminan kesehatan.
Edy menyebut Indonesia tergolong terlambat dalam membangun sistem jaminan sosial, khususnya di bidang kesehatan.
"Kalau ada wartawan parlemen yang tidak menjadi peserta BPJS berarti ada kemungkinan dia tidak mendapat akses layanan kesehatan," ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa undang-undang secara eksplisit mewajibkan seluruh penduduk menjadi peserta BPJS Kesehatan agar tidak kehilangan hak pelayanan kesehatan.
Saat ini, cakupan peserta BPJS telah melebihi 90 persen dari total penduduk Indonesia.
Namun demikian, sekitar 27 persen dari peserta tersebut dinyatakan tidak aktif.
"Saya perkirakan sekitar 70 persen saja yang aktif," ujarnya.
Pembiayaan dan Ketimpangan Akses Masih Jadi Tantangan
Dalam aspek pembiayaan, Edy menjelaskan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan iuran BPJS paling murah di dunia.
Sistem BPJS didasarkan pada prinsip gotong royong, di mana peserta yang mampu membantu peserta yang kurang mampu.
Meski begitu, ia mengingatkan bahwa ketidakseimbangan antara jumlah iuran dan biaya layanan bisa memengaruhi kualitas pelayanan kesehatan.
"Rasio klaim BPJS sekarang di sekitar angka 108 persen. Maka saya bisa pahami kalau rumah sakit sekarang tingkat keterisiannya tinggi, bahkan di beberapa daerah mencapai 27 persen," katanya.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Komisi IX DPR telah mendorong penambahan anggaran sebesar Rp20 triliun pada tahun 2026 untuk pembiayaan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Selain itu, terdapat alokasi tambahan sebesar Rp2,5 triliun untuk peserta bukan penerima upah seperti pekerja informal atau peserta mandiri kelas III.
"Totalnya sekitar Rp22,5 triliun. Ini agar masyarakat yang secara ekonomi tidak mampu tetap bisa membayar iuran," ia menambahkan.
Edy juga mendukung kebijakan pemutihan tunggakan BPJS Kesehatan sebagai langkah positif untuk menyehatkan neraca keuangan lembaga dan memulihkan kepesertaan.
"Kalau mau aktif tinggal bayar iurannya saja Rp35.000. Dari situ, peserta aktif bisa kembali mendapatkan hak konsultasi dan layanan kesehatan. Neraca keuangan BPJS juga akan membaik," jelasnya.
Ia menyoroti ketimpangan akses layanan antara wilayah maju dan wilayah tertinggal, seperti daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) yang mencakup Papua, Maluku, NTT, NTB, dan sejumlah wilayah kepulauan lainnya.
"Orang NTT sakit jantung dan orang Jakarta sakit jantung, siapa yang paling mungkin memperoleh pelayanan kesehatan? Pasti orang Jakarta, karena dekat dengan rumah sakit jantung. Ini menunjukkan adanya ketimpangan," tegas Edy.
Untuk mengatasi ketimpangan tersebut, ia mendorong pembangunan rumah sakit tipe C dan D di wilayah 3T serta peningkatan jumlah dan distribusi dokter spesialis.
Edy juga menyarankan adanya regulasi yang mewajibkan dokter spesialis lulusan universitas negeri untuk bersedia ditempatkan di daerah terpencil sebagai bentuk pengabdian kepada negara.
"Tidak boleh ada satu pun orang miskin yang sakit memikirkan biaya. Itu hak dasar yang harus dilindungi secara konstitusi," ujarnya.
Fokus pada Pekerja Media dan Tiga Langkah Strategis
Edy juga mengingatkan pentingnya perlindungan jaminan sosial bagi pekerja media, khususnya wartawan.
"Apakah wartawan ini ada pemberi kerjanya? Ada pekerja, ada upah, maka wajib bagi pemberi kerja mendaftarkan pekerjanya ke BPJS. Dua jaminan yang wajib itu adalah jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian," jelasnya.
Ia menambahkan bahwa pekerja juga berhak atas jaminan kehilangan pekerjaan yang memberikan manfaat berupa perlindungan BPJS Kesehatan, tunjangan upah sementara, serta pelatihan kerja agar bisa kembali bekerja.
"Ini perintah undang-undang, dan harus kita kawal bersama," pungkasnya.
Edy menyampaikan tiga langkah utama yang perlu dilakukan untuk memperkuat sistem jaminan kesehatan nasional, yakni:
Memastikan kepesertaan BPJS mencapai 100 persen.
Memperkuat sistem pembiayaan dan menjaga kesehatan neraca keuangan BPJS.
Meratakan layanan kesehatan hingga ke pelosok negeri.
- Penulis :
- Arian Mesa








