
Pantau - Menteri Dalam Negeri sekaligus Ketua Majelis Wali Amanat Universitas Sriwijaya, Muhammad Tito Karnavian, menegaskan bahwa kekuatan global saat ini tidak lagi ditentukan oleh kekuatan militer, melainkan oleh kekuatan ekonomi, budaya, dan pengetahuan.
Pergeseran Paradigma Global ke Arah Ekonomi dan Pengetahuan
Dalam orasi ilmiah bertajuk Peran Perguruan Tinggi dalam Mendukung Indonesia Emas 2045 pada Dies Natalis ke-65 Universitas Sriwijaya di Palembang, Tito menyatakan, "Saya berada dalam posisi paradigma konstruktivisme. Artinya, banyak hal kini diselesaikan bukan dengan kekuatan militer, tapi melalui ekonomi, perdagangan, sosial, dan budaya. Pertarungan yang paling menentukan saat ini adalah pertarungan ekonomi," ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa dalam tatanan dunia baru, negara yang mampu memproduksi barang dan jasa secara masif, membanjiri pasar global, serta menguasai rantai pasok akan menjadi kekuatan dominan dunia.
Mengutip pandangan Prof. Sait Yilmaz dalam buku State, Power, and Hegemony, Tito menjelaskan empat faktor utama penentu kapasitas produksi suatu negara: angkatan kerja besar, sumber daya alam melimpah, wilayah luas, dan letak geografis strategis.
"Saya menambahkan faktor keempat, yaitu letak geografis strategis. Indonesia berada di jalur vital dunia. Jika kita bisa memanfaatkannya dengan baik, posisi ini dapat memengaruhi ekonomi negara lain," ujarnya.
Menurut Tito, hanya sedikit negara yang memenuhi seluruh faktor tersebut, yakni China, India, Amerika Serikat, Rusia, dan Indonesia.
Ia menyatakan optimistis bahwa Indonesia berpotensi menjadi kekuatan ekonomi dunia keempat pada 2045, setelah China, India, dan Amerika Serikat.
Namun demikian, ia menegaskan bahwa sumber daya alam saja tidak cukup tanpa didukung sumber daya manusia unggul.
"Negara itu maju bukan karena SDA, tapi karena SDM-nya. Bonus demografi Indonesia sebesar 68,95% dari total populasi harus diarahkan melalui pendidikan agar menjadi kekuatan produktif," katanya.
Ia mencontohkan keberhasilan Singapura di bawah Lee Kuan Yew yang mampu menjadi negara maju tanpa SDA melimpah melalui penguatan pendidikan dan program beasiswa.
Perguruan Tinggi Sebagai Motor Inovasi Nasional
Tito mengapresiasi kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menurutnya selaras dengan visi Indonesia Emas 2045 melalui program-program pendidikan dan kesehatan seperti Sekolah Rakyat, Sekolah Garuda, dan beasiswa kedokteran.
Ia mendorong perguruan tinggi untuk tidak hanya menjadi menara gading, melainkan tampil sebagai penggerak inovasi dan transformasi nasional.
"Perguruan tinggi harus bertransformasi. Dunia berubah cepat, dan kita tidak boleh hanya menjadi penonton. Kita harus jadi pemain utama dalam tatanan global baru," tegasnya.
Dosen Hukum Internasional Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Triyana Yohanes, menilai pandangan Tito relevan dengan situasi global saat ini dan menyebutnya sebagai narasi strategis berbasis paradigma konstruktivisme yang sesuai dengan dinamika politik internasional modern.
"Pandangan Tito layak dijadikan pijakan kebijakan luar negeri Indonesia. Dunia memang masih dalam paradigma konstruktivisme, meski sering terhambat oleh kekuatan militer negara adidaya," ia mengungkapkan.
Triyana menyebut orasi Tito sebagai kerangka konstruktivisme modern yang berpijak pada data, riset, dan pengalaman empiris.
"Saya melihat Tito mendorong Indonesia membangun hegemoni berbasis pengetahuan dan produktivitas ekonomi. Ini jauh lebih berkelanjutan daripada sekadar kekuatan militer," tambahnya.
Ia mengaitkan gagasan Tito dengan pandangan ekonom Ray Dalio dalam buku How Countries Go Broke, yang menyatakan bahwa negara harus memperkuat SDM, teknologi, dan tata kelola bersih untuk bertahan dalam siklus utang global.
Triyana menekankan bahwa orasi Tito mengandung pesan moral tentang pentingnya pemerintahan yang visioner dan bebas korupsi.
"Pembangunan hukum dan tata kelola bersih harus menjadi fondasi. Tanpa itu, potensi besar yang disampaikan Tito akan sulit diwujudkan," ujarnya.
- Penulis :
- Leon Weldrick







