
Pantau - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menekankan pentingnya memperkuat peran Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dalam sistem penegakan hukum dan pengelolaan royalti di industri musik nasional, sebagai langkah strategis dalam penyelesaian sengketa dan optimalisasi hak ekonomi para pelaku industri.
DPR RI Tekankan LMKN sebagai Mediator Sengketa Musik
Pernyataan ini disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum antara Baleg DPR RI dengan LMKN, VNT Networks, dan PAPPRI yang digelar di Gedung Nusantara I, DPR RI, pada Kamis, 13 November 2025.
Ketua Baleg DPR RI, Bob Hasan, menyebutkan bahwa LMKN memiliki fungsi penting dalam pengumpulan dan distribusi royalti serta penyelesaian sengketa antarpelaku industri musik.
"Penegakan hukum itu tidak melulu kita primum remedium. Jadi jangan kita larinya primum terus, Pak. Jangan larinya pemidanaan atau ke hukum," ungkapnya.
Ia menjelaskan bahwa pendekatan pidana dalam pelanggaran hak cipta seharusnya menjadi pilihan terakhir, sementara pendekatan mediasi dan penyelesaian non-litigasi perlu diperkuat melalui peran LMKN.
Menurut Bob Hasan, Baleg akan mengakomodasi penguatan peran LMKN dalam revisi peraturan perundang-undangan, dengan memberikan dasar hukum yang jelas bagi LMKN dalam fungsi penegakan hukum.
"Dan di sini LMKN harus mengambil peran sebagai posisi law enforcement," ia mengungkapkan.
Ia juga menilai bahwa banyaknya persoalan dalam industri musik disebabkan lemahnya mekanisme penyelesaian sengketa di tingkat lembaga kolektif, dan LMKN dinilai seharusnya menjadi poros utama dalam penyelesaian konflik terkait royalti, khususnya dalam kasus pelanggaran di tempat umum seperti restoran atau konser.
"Kalau soal hak tidak didapat, itu bukan semata perkara pidana atau perdata, tapi bagaimana mekanisme collecting yang belum tuntas. Di sinilah fungsi LMKN harus diperkuat," jelasnya.
LMKN Dorong Penguatan Dasar Hukum dan Penataan Dana Royalti Tak Bertuan
Komisioner LMKN, Ahmad Ali Fahmi, menyambut baik inisiatif tersebut dan menegaskan perlunya memperjelas konsep penegakan hukum dalam revisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
LMKN, lanjutnya, telah bekerja sama dengan Direktorat Penegakan Hukum Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) dalam menindak pengguna karya musik yang tidak membayar royalti.
"Kami sudah berkoordinasi dengan Dirjen KI. Pengguna yang bandel tidak membayar royalti akan kami laporkan sebagai bagian dari penegakan hukum. Namun kami juga berhati-hati agar langkah hukum menjadi ultimum remedium," tegasnya.
Fahmi mencontohkan bahwa sistem pembayaran royalti sudah mulai diterapkan secara disiplin, seperti pada konser Mariah Carey yang digelar 2 Oktober lalu.
"Dalam konser Mariah Carey 2 Oktober lalu, pembayaran royalti dilakukan sebelum hari H. Ini salah satu bentuk nyata penegakan hukum yang sedang kami terapkan," ujarnya.
Ia juga mengungkapkan adanya dana royalti tak bertuan senilai Rp24 miliar, yang berasal dari karya atau pencipta yang belum teridentifikasi atau tidak terdaftar di LMKN.
"Kami berharap perubahan UU Hak Cipta dapat memberikan dasar hukum yang kuat bagi LMKN dalam mengelola dana unclaim. Prinsipnya, dana itu hanya bisa digunakan untuk kegiatan pemberdayaan musik dan disimpan maksimal dua tahun," paparnya.
Fahmi mengusulkan agar Baleg DPR RI mengakomodasi LMKN dalam tiga aspek utama, yakni kuasa pengampuan atas dana unclaim, fungsi penegakan hukum, dan penguatan hak ekonomi.
Ia juga mengajukan pembagian kluster LMK agar lebih efisien, dengan membatasi maksimal empat jenis, yaitu LMK pencipta, LMK produser, LMK performer, dan LMK hak ekonomi lainnya.
"Tujuannya agar sistem menjadi sederhana dan efektif, sesuai dengan perkembangan industri musik digital," tandasnya.
- Penulis :
- Arian Mesa








