Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

DPR RI Resmi Sahkan KUHAP Baru, Atur Mekanisme Keadilan Restoratif dengan Sejumlah Pengecualian

Oleh Shila Glorya
SHARE   :

DPR RI Resmi Sahkan KUHAP Baru, Atur Mekanisme Keadilan Restoratif dengan Sejumlah Pengecualian
Foto: Menteri Hukum Supratman Andi Agtas (kedua kiri) menyerahkan berkas pendapat akhir kepada Ketua DPR Puan Maharani (kanan) yang disaksikan oleh Wakil Ketua DPR Adies Kadir (kedua kanan) dan Saan Mustopa (kiri) pada Rapat Paripurna ke-8 DPR RI Masa Persidangan II Tahun Sidang 205-2026 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa 18/11/2025 (sumber: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

Pantau - DPR RI secara resmi menyetujui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru untuk disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna ke-18 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025–2026 pada Selasa, 19 November 2025.

DPR RI Resmi Sahkan KUHAP Baru dengan Aturan Keadilan Restoratif

KUHAP yang baru ini mengatur secara eksplisit mengenai penerapan mekanisme keadilan restoratif atau restorative justice sebagai salah satu bentuk penyelesaian perkara pidana di luar proses persidangan.

Ketua DPR RI Puan Maharani dalam rapat tersebut menyampaikan, "Apakah dapat disetujui untuk menjadi undang-undang? Terima kasih", yang kemudian dijawab dengan persetujuan bulat dari seluruh anggota DPR RI yang hadir.

Persetujuan tersebut diberikan setelah seluruh fraksi partai politik di DPR RI menyampaikan pandangan akhir dan menyetujui RUU KUHAP yang sebelumnya telah dibahas oleh Komisi III.

Syarat dan Pengecualian Keadilan Restoratif dalam KUHAP Baru

Komisi III DPR RI menegaskan bahwa keadilan restoratif sebelumnya tidak diatur dalam KUHAP lama yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.

Dalam KUHAP yang baru, mekanisme keadilan restoratif hanya dapat diterapkan pada perkara tertentu yang memenuhi tiga syarat sebagaimana tertuang dalam Pasal 80, yaitu tindak pidana yang diancam dengan pidana denda paling banyak kategori III atau pidana penjara paling lama lima tahun, dilakukan untuk pertama kalinya, serta bukan merupakan pengulangan tindak pidana, kecuali yang diputus dengan pidana denda atau dilakukan karena kealpaan.

Selain itu, kesepakatan pemaafan dari korban dapat menjadi dasar penghentian proses hukum, namun hal tersebut tidak dapat dilakukan sembarangan.

Pasal 81 ayat 2 menyebutkan bahwa pelaksanaan keadilan restoratif harus dilakukan tanpa tekanan, paksaan, intimidasi, tipu daya, ancaman kekerasan, kekerasan, penyiksaan, maupun tindakan yang merendahkan kemanusiaan terhadap tersangka, terdakwa, korban, dan/atau keluarganya.

Sementara itu, Pasal 82 menetapkan sembilan kategori tindak pidana yang dikecualikan dari mekanisme keadilan restoratif, di antaranya adalah tindak pidana terhadap keamanan negara dan ketertiban umum, tindak pidana terorisme, korupsi, kekerasan seksual, serta tindak pidana narkotika kecuali untuk pengguna atau penyalahguna.

Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali karena kealpaan, serta yang diancam dengan pidana minimum khusus, juga tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif.

Komisi III juga menegaskan bahwa seluruh proses keadilan restoratif harus diawasi secara ketat dan memerlukan penetapan resmi dari pengadilan untuk memastikan keabsahan dan keadilan bagi semua pihak.

Penulis :
Shila Glorya