Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Komisi X Soroti Disharmoni Regulasi sebagai Penghambat Utama Pengelolaan Candi Borobudur

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

Komisi X Soroti Disharmoni Regulasi sebagai Penghambat Utama Pengelolaan Candi Borobudur
Foto: (Sumber : Wakil Ketua Komisi X DPR RI, MY Esti Wijayati memimpin kunjungan kerja spesifik Komisi X DPR RI ke Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Kamis (27/11/2025). Foto : Ysm/Andri.)

Pantau - Komisi X DPR RI menilai disharmoni regulasi menjadi hambatan utama dalam pengelolaan Candi Borobudur yang hingga kini masih menghadapi persoalan pelestarian meskipun berstatus Warisan Dunia.

Regulasi Tumpang Tindih Hambat Pelestarian

Candi Borobudur terus menghadapi persoalan klasik pelestarian akibat kompleksitas regulasi dan tumpang tindih kewenangan antarinstansi.

Tumpang tindih terjadi antara Kementerian Kebudayaan, Balai Konservasi Borobudur, PT Taman Wisata Candi, dan pemerintah daerah.

Regulasi sektoral seperti pariwisata, konservasi, penataan ruang, dan perizinan saling bersinggungan dan menimbulkan ketidakharmonisan antara pelestarian dan kepentingan ekonomi.

Keberagaman status kepemilikan lahan di area penyangga menyebabkan pembatasan pembangunan dan pengendalian ruang sulit diterapkan.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI, MY Esti Wijayati, menegaskan bahwa persoalan regulasi merupakan akar hambatan teknis di lapangan.

“Koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, PT pengelola, dan masyarakat masih belum mudah diwujudkan. Padahal ini amanah Undang-Undang Cagar Budaya,” ungkapnya.

Ia menilai tumpang tindih kewenangan membuat pengelolaan tidak berjalan dalam satu komando regulasi yang solid.

Menurut Esti, pengelolaan Borobudur harus mengikuti dua mandat utama, yaitu pelestarian dan pemanfaatan untuk kesejahteraan masyarakat.

Namun kedua mandat tersebut kerap berbenturan karena tidak ada sinkronisasi regulasi.

“Ada dua sisi yang harus diperjelas dan diperkuat: pelestarian cagar budaya dan pemberian nilai manfaat untuk masyarakat. Itu hanya bisa tercapai kalau sistem regulasinya jelas,” ungkapnya.

Ia menyoroti bahwa masalah tidak hanya terkait kewenangan, tetapi juga menyangkut regulasi agraria dan tata ruang.

Keberagaman status kepemilikan lahan di area penyangga kembali disebut sebagai kendala dalam penerapan pembatasan pembangunan.

“Masyarakat sering dituntut mengikuti aturan ketat, tetapi tidak ada kompensasi atau insentif yang diberikan. Regulasi kita belum memberi ruang keadilan bagi mereka,” ungkapnya.

Dorongan Evaluasi Regulasi dan Arah Perbaikan

Esti menilai Undang-Undang Cagar Budaya perlu dievaluasi secara menyeluruh agar dapat menjawab tantangan pengelolaan di lapangan.

“Jika undang-undang tidak bisa dilaksanakan, mari kita evaluasi. Sejauh ini kita belum melihat evaluasi yang sungguh-sungguh,” ungkapnya.

Revisi undang-undang atau penyelarasan dengan rencana induk pariwisata nasional menjadi opsi untuk menghindari konflik antaraturan.

Ia menegaskan bahwa regulasi yang tidak selaras merupakan penghambat utama dalam pelaksanaan tugas pelestarian dan pengelolaan.

Contoh disharmoni terlihat dalam ketidaksinkronan antara aturan pusat dan daerah, aturan konservasi dan pariwisata, serta standar teknis perawatan cagar budaya.

“Undang-undang harus berada di atas peraturan menteri, peraturan daerah, bahkan instruksi presiden. Pegangannya harus jelas,” ungkapnya.

Komisi X berkomitmen membawa persoalan ini ke rapat bersama Kementerian Kebudayaan untuk menyusun formula penataan regulasi yang lebih terintegrasi.

“Yang terbaik adalah kementerian segera melakukan koordinasi dan menyusun poin-poin regulasi yang bisa dilaksanakan tanpa menabrak aturan. Tapi memang kita perlu pemikiran untuk memperbaiki undang-undang,” ungkapnya.

Esti menegaskan bahwa pembenahan regulasi merupakan keharusan demi menjaga keberlangsungan warisan budaya nasional.

“Kebudayaan adalah nilai luhur bangsa. Kita harus memastikan regulasinya kuat, adil, dan mampu menjawab kebutuhan pelestarian sekaligus kesejahteraan masyarakat,” ungkapnya.

Penulis :
Ahmad Yusuf