
Pantau - Tiga hakim nonaktif yang sebelumnya menjatuhkan vonis lepas (ontslag) dalam perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) pada tahun 2022, divonis 11 tahun penjara oleh majelis hakim karena terbukti menerima suap.
Terbukti Terima Suap Miliaran Rupiah
Ketiga terdakwa adalah Djuyamto, Ali Muhtarom, dan Agam Syarief Baharuddin.
Djuyamto terbukti menerima suap sebesar Rp9,21 miliar, sementara Ali Muhtarom dan Agam Syarief Baharuddin masing-masing menerima suap sebesar Rp6,4 miliar.
"Menyatakan para terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi menerima suap yang dilakukan secara bersama-sama", ungkap majelis hakim saat membacakan putusan.
Selain pidana penjara, ketiga hakim nonaktif itu dijatuhi denda masing-masing sebesar Rp500 juta dengan ketentuan jika tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti atas suap yang diterima.
Djuyamto diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp9,21 miliar, sementara Ali dan Agam masing-masing diwajibkan membayar Rp6,4 miliar.
Apabila uang pengganti tidak dibayar, maka diganti dengan pidana penjara subsider selama 4 tahun.
Melanggar Etika dan Mencoreng Lembaga Peradilan
Ketiga terdakwa dinyatakan bersalah melanggar Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Majelis hakim menilai bahwa tindakan para terdakwa mencoreng nama baik lembaga yudikatif sebagai benteng terakhir pencari keadilan di Republik Indonesia.
Perbuatan ketiganya tidak mendukung upaya negara dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Hal yang memberatkan adalah bahwa para terdakwa merupakan aparat penegak hukum aktif saat melakukan tindak pidana korupsi, dan perbuatan mereka dilakukan karena keserakahan (corruption by greed), bukan karena kebutuhan (corruption by need).
Majelis hakim mempertimbangkan hal-hal yang meringankan seperti pengembalian sebagian uang suap dan kondisi keluarga yang masih menjadi tanggungan para terdakwa.
"Mempertimbangkan hal memberatkan dan meringankan tersebut, hukuman atau pemidanaan yang dijatuhkan kepada para terdakwa kiranya sudah memenuhi rasa keadilan", ujar majelis hakim.
Vonis yang dijatuhkan lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa, yang sebelumnya meminta pidana 12 tahun penjara bagi masing-masing terdakwa, denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan, serta uang pengganti sebesar Rp9,5 miliar untuk Djuyamto dan Rp6,2 miliar untuk Ali dan Agam dengan ancaman subsider 5 tahun penjara jika tidak dibayar.
Dalam kasus ini, para hakim menerima suap sebanyak dua kali dari empat pihak, yaitu Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan Syafei.
Keempatnya merupakan advokat atau pihak yang mewakili terdakwa korporasi dalam perkara ekspor CPO.
Perusahaan yang menjadi terdakwa korporasi dalam kasus tersebut adalah Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
- Penulis :
- Leon Weldrick







