
Pantau - Rektor Universitas Krisnadwipayana (Unkris), Inspektur Jenderal Polisi (Purn) Ali Johardi, menegaskan bahwa reformasi Polri harus berorientasi pada penguatan kultur kepolisian yang profesional, modern, dan adaptif terhadap perkembangan teknologi.
Penguatan Kultur dan Tantangan Reformasi
Ali menyampaikan bahwa kultur profesional tersebut mencakup pemahaman etis dan empiris tentang peran polisi yang menguasai teknologi informasi dan komunikasi digital untuk memenuhi kebutuhan publik terkait keamanan dan ketertiban.
"Kultur ini mencakup pemahaman etis dan empiris tentang peran polisi yang menguasai teknologi informasi, komunikasi digital untuk merespons kebutuhan publik dalam keamanan dan ketertiban," ungkapnya.
Ali menjelaskan bahwa perubahan kultural Polri berarti perubahan nilai dan norma dalam budaya organisasi yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi kepolisian di masa depan.
Ia menilai bahwa reformasi kepolisian harus berbasis pendekatan ilmiah, integritas moral, serta restrukturisasi organisasi.
Unkris menegaskan komitmennya mendukung reformasi Polri melalui riset akademik, diskusi ilmiah, dan edukasi publik.
Ali menambahkan bahwa kampus memiliki tanggung jawab sosial untuk berkontribusi pada perbaikan institusi negara demi tata kelola keamanan dan hukum yang adil, profesional, dan berkelanjutan.
Ia mengingatkan bahwa peningkatan kejahatan secara kualitas dan kuantitas sedang terjadi, dipengaruhi antara lain oleh pengangguran dan kemiskinan.
Pendekatan Ilmiah, Smart Policing, dan Tantangan Pendidikan
Ali menilai gagasan membagi tugas dan fungsi Polri ke beberapa kementerian bukan solusi yang tepat.
Menurutnya, cara tersebut dapat menimbulkan disintegrasi fungsi keamanan dan melemahkan peran Polri dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Ia menekankan bahwa langkah relevan reformasi adalah restrukturisasi proporsional, prosedural, dan profesional, seperti memperkuat elemen yang lemah, menyeimbangkan fungsi yang terlalu dominan, serta meningkatkan kapasitas unit terdepan yang membutuhkan dukungan.
Ali menambahkan bahwa tantangan era digital menuntut peningkatan teknologi informasi, modernisasi sarana prasarana, serta literasi digital di seluruh jajaran kepolisian.
Ketua Senat Unkris, Prof. Gayus Lumbuun, menyampaikan bahwa keberhasilan reformasi Polri akan memperkuat fungsi strategis kepolisian dalam sistem keamanan negara.
Ia menegaskan bahwa kebijakan reformasi harus memastikan sistem hukum berjalan sesuai prinsip, etika, tanggung jawab, dan budaya hukum yang terintegrasi.
Gayus menyoroti ambivalensi tugas kepolisian, yaitu polisi harus melindungi masyarakat namun juga bertindak tegas terhadap pelanggar hukum.
"Hal ini merupakan dilema dalam pelaksanaan tugas di lapangan, yaitu harus menindak penjahat sekaligus melindunginya sebagai bentuk hak asasi manusia," ujarnya.
Gayus menilai petugas di lapangan membutuhkan pendidikan yang sesuai tuntutan sebagai single fighter, yaitu kemampuan menganalisis gangguan kamtibmas dan mengambil keputusan secara mandiri dengan risiko yang ditanggung sendiri.
Ia menekankan pentingnya perwujudan smart policing melalui penggunaan teknologi informasi, termasuk komunikasi digital untuk analisis data dan identifikasi pola kejahatan sebagai langkah pencegahan dalam kegiatan pengaturan, penjagaan, pengawalan, patroli, serta penyelidikan dan penyidikan.
Praktik smart policing ini diharapkan meningkatkan kecepatan, ketepatan, dan efektivitas Polri dalam merespons kejahatan sekaligus memperkuat kepercayaan publik.
Gayus menyatakan bahwa reformasi kultural Polri menghadapi kendala berupa pola pikir yang telah terbentuk lama.
Ia menambahkan bahwa ambivalensi tugas sering membingungkan petugas baru, terutama mereka yang baru menempuh pendidikan singkat sebelum terjun menghadapi kompleksitas masyarakat.
"Kondisi tersebut menegaskan perlunya sistem pendidikan, kurikulum yang sesuai, dan standar kompetensi berbasis ilmu hukum yang lebih kuat dalam institusi Polri," ia mengungkapkan.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf







