
Pantau - Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas Prof Asrinaldi menilai pemilihan kepala daerah secara tertutup atau melalui DPRD tidak menjamin menghasilkan kepala daerah yang lebih baik dibandingkan pilkada langsung.
Prof Asrinaldi menegaskan bahwa keputusan pencalonan kepala daerah tetap sangat ditentukan oleh partai politik.
“Apakah pemilihan kepala daerah melalui DPRD akan menghasilkan kepala daerah yang lebih baik? Tentu ini juga tidak ada jaminan karena bagaimanapun yang memutuskan pencalonan ini adalah partai politik. Jadi, sangat ditentukan oleh partai politik,” ungkap Prof Asrinaldi.
Ia menilai pilkada tertutup berpotensi memperlebar jarak antara masyarakat dan kepala daerah karena rakyat tidak memilih secara langsung.
“Tidak ada jaminan bahwa pilihan anggota DPRD akan sama dengan keinginan masyarakat, sehingga keterwakilan yang diperankan anggota DPRD akan melemah,” ujarnya.
Kelebihan dan Risiko Pilkada Tertutup
Meski kritis, Prof Asrinaldi mengakui bahwa pilkada tertutup memiliki sejumlah kelebihan.
Salah satu kelebihannya adalah pengurangan signifikan anggaran pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
Selain itu, pilkada tertutup dinilai berpotensi membatasi praktik politik uang yang kerap muncul dalam pilkada langsung.
Namun demikian, ia menilai kelebihan tersebut tidak serta-merta menjamin kualitas kepemimpinan daerah.
Respons atas Evaluasi Kemendagri
Pernyataan Prof Asrinaldi disampaikan sebagai respons atas pandangan Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian.
Mendagri sebelumnya menyatakan bahwa sistem pilkada langsung tidak otomatis menghasilkan kepala daerah yang baik sesuai harapan publik.
Prof Asrinaldi menilai evaluasi sementara yang disampaikan Kementerian Dalam Negeri perlu dikaji lebih mendalam secara akademik dan empiris.
Ia mengusulkan kemungkinan penerapan pilkada asimetris sebagai alternatif kebijakan.
“Barangkali perlu ada pelaksanaan pilkada asimetris dengan membuat sejumlah kriteria, sehingga tidak perlu diseragamkan pelaksanaan pilkada ini,” katanya.
Kasus Hukum Perkuat Wacana Evaluasi
Wacana evaluasi sistem pilkada menguat setelah kasus hukum yang menjerat Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya.
Pada 11 Desember 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Ardito Wijaya sebagai salah satu dari lima tersangka.
Kasus tersebut terkait dugaan penerimaan hadiah atau janji dalam pengadaan barang dan jasa serta penerimaan lainnya di lingkungan Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah tahun anggaran 2025.
KPK menduga Ardito Wijaya menerima uang sebesar Rp5,75 miliar.
Dari jumlah tersebut, Rp5,25 miliar diduga digunakan untuk melunasi pinjaman bank guna kebutuhan kampanye Pilkada 2024.
Pada hari yang sama, Mendagri menyatakan kasus tersebut menjadi salah satu bahan evaluasi terhadap sistem pilkada langsung yang selama ini diterapkan.
- Penulis :
- Aditya Yohan







