
Pantau.com - Menginjakan kaki di Kampung Akuarium yang dipenuhi puing-puing bangunan hancur, langsung membuat kesan rasa ingin tahu yang begitu dalam.
Bangunan yang hampir rata dengan tanah tersebut ternyata menyisakan luka mendalam bagi warga Kampung Akuarium. Bahkan, peristiwa yang terjadi dua tahun lalu itu seakan tak mudah dilupakan oleh mereka.
Sukarti, bercerita bagaiamana 'sakitnya' menyaksikan rumahnya digusur oleh Pemrov DKI, yang kala itu dipimpin oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Wakil Gubernur Djarot Syaiful Hidayat.
Wanita yang kini berusia 63 tahun itu mengatakan, akibat peristiwa penggusuran itu, ia harus merasakan pil pahit kehilangan suami dan seorang anak perempuannya.
Bu Ati begitu ia disapa, kembali menceritakan bagaimana sebelum peristiwa penggusuran anaknya yang berumur 23 tahun itu menderita hipokalemia atau sering disebut dengan kekurangan kalium.
"Aduh perih disitu, karena pas hari H (penggusuran) anak sakit keras makan pun susah. Malam Jumat hujan badai angin kencang perihnya, inget kalau disitu rasanya pengen nangis ajalah," tutur Ati dengan air mata yang telah menggenang.
Eksekusi penggusuran pun tiba tepat sebelum Hari Raya Idul Fitri, tangan besi mobil penghancur mulai bekerja mengoyak rumah warga salah satunya rumah Bu Ati, yang saat itu bersikukuh untuk tetap bertahan hingga hari penggusuran tiba.
Hingga akhirnya, ia bersama warga lainnnya bertahan hidup diatas perahu para nelayan yang terparkir dibelakang kampung yang berbatasan dengan laut itu.
Sempat memang, para warga yang hidup di perahu sebagian diungsikan ke rusun yang telah disediakan Pemprov DKI, namun beralasan tak nyaman dan lokasi rusun yang terlampau jauh, 80 dari 400 keluarga lainnya memilih kembali ke rumahnya yang telah rata dengan tanah.
Kampung Akuarium (Foto: Pantau.com / Dini Afrianti Efendi)
Bertahan begitu lama, di tanah terbuka dengan atap dan cuaca pesisir laut nyatanya memperburuk kesehatan putrinya, meski sempat diobati namun nyawa anaknya tersebut tetap tak tertolong.
Belum cukup itu, nasib nyatanya masih tak berpihak pada ibu dua anak itu, tujuh bulan setelahnya, suami yang juga ikut berjuang bersama warga lainnya juga wafat, ikut menyusul putrinya, dan jadilah Ati resmi menyandang status janda bersama satu anak semata wayangnya kini, Adi.
"Waktu itu bapaknya kena penyakit paru-paru. Sebelum itu (penggusuran) dia enggak punya penyakit begitu. Setelah ada penggusuran itu hampir ada dua tahun akhirnya dia mengalami penyakit itu," imbuh Ati yang tak kuasa membendung air matanya.
Lalu bertahan hidup untuk makan, kini masih menjadi prioritas Ati dan warga Kampung Akuarium lainya, hingga tak jarang akhirnya mengesampingkan hal penting lainnya, yakni biaya pendidikan sang anak yang tinggal satu-satunya.
Adi (14) harus putus sekolah, akibat menanggung malu mendapat cacian dari sang wali kelas, yang saat itu menagih uang ujian kenaikan kelas.
"Waktu itu mamak, cuma punya uang Rp50 ribu, bayarannya harusnya Rp150 ribu. Guru ngomongnya enggak enak, suruh pulang aja enggak usah ikut ulangan, ngomongnya di depan kelas," imbuh anak laki-laki yang tengah duduk bersama anak lainnya diatas bebatuan tak jauh dari shelter tempat ia tinggal bersama ibunya.
Merasa di permalukan, akhirnya Adi enggan untuk kembali meneruskan sekolahnya yang telah menginjak kelas dua SMP itu.
"Anak saya putus sekolah juga, udah enggak taulah masa depan kita ini gimana," tutur Ati yang kali ini air mata elah membanjiri kedua pipinya.
Kini Ati sendiri masih berusaha bertahan hidup bersama putranya dengan berusaha mencari pekerjaan halal, apapun pekerjaannya. Meskipun ketika dirinya teringat peristiwa yang menurutnya kejam itu, Ati selalu tak kuasa menahan air matanya.
- Penulis :
- Dera Endah Nirani