HOME  ⁄  Nasional

Cerita Pahit Andi Monji, Korban Kekejaman Kolonial Belanda di Tanah Air

Oleh Widji Ananta
SHARE   :

Cerita Pahit Andi Monji, Korban Kekejaman Kolonial Belanda di Tanah Air

Pantau.com - Andi Monji berusia 10 tahun ketika dia dipaksa untuk menonton ayahnya dieksekusi oleh tentara Belanda. Pria yang kini berusia 83 tahun, bulan Maret kemarin pergi ke Den Haag, Belanda, bersaksi di depan pengadilan, kemudian mendapat 10.000 euro (sekitar Rp 168 juta) sebagai ganti rugi atas kematian ayahnya.

"Ayahnya, Tuan Monjong, adalah satu dari lebih dari 200 orang yang dieksekusi mati saat pembantaian desa Suppa, 28 Januari 1947," kata pengacara Andi, Liesbeth Zegveld, yang dilansir dari ABC News, Selasa (28/4/2020).

Meski pernah menolak membayar ganti rugi, Pemerintah Belanda secara resmi sudah meminta maaf atas kekerasan brutal yang terjadi di Indonesia selama tahun 1940-an. Banyak kekejaman yang dilakukan di sejumlah pulau saat Belanda menguasai Nusantara, hingga Presiden Sukarno memproklamasikan negara kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Apakah pembayaran ganti rugi juga bisa diajukan atas nama korban warga Aborigin di Australia yang menjadi korban kekerasan kolonial kerajaan Inggris?

Baca juga: Raja Belanda Ungkap Penyesalan dan Permintaan Maaf kepada Presiden Jokowi

Pembantaian di desa Suppa


Tentara Belanda di Malang, Indonesia tahun 1947 dengan tindakan yang disebutnya sebagai pengawasan. (Foto: Dutch National Archives)

Upaya Belanda untuk merebut kembali Indonesia pada tahun 1940-an saat itu disebut sebagai "tindakan pengawasan" terhadap "teroris" dan "ekstremis" nasionalis.

Menurut sejarawan Chris Lorenz, "pemerintah Belanda pada awalnya mencoba untuk mewakili perang kolonial sebagai kelanjutan Perang Dunia Kedua, yaitu, perjuangan demokrasi Belanda melawan Jepang 'fasis'."

Namun pada kenyataannya, kekaisaran Belanda yang mulai melemah saat itu, mengobarkan perang sebagai upaya mendapatkan kembali Indonesia yang kaya sumber daya alam. Di Sulawesi, tepatnya Sulawesi Selatan, pasukan Belanda menggunakan "metode Westerling" yang brutal.


Andi Monji adalah satu dari korban yang mendapat ganti rugi dari Belanda akibat tindakan kekerasan, pembunuhan dan pemerkosaan saat penjajahan. (Foto: Koleksi Yayasan KUKB)

Tindakannya termasuk menyerbu desa-desa, memisahkan laki-laki dari perempuan dan anak-anak. Orang-orang yang diduga memiliki sikap anti-Belanda langsung dieksekusi.

Penyelidikan Belanda pada tahun 1950-an menemukan lebih dari 3.000 orang telah dibunuh selama tiga bulan. Tapi Indonesia memperkirakan jumlah korban jauh lebih tinggi.

Kasus Andi bukan yang pertama kali ditangani oleh pengacara Liesbeth Zegveld. "Kami telah berhasil mendapat ganti rugi dalam bentuk kerusakan moral bagi seorang perempuan Indonesia yang diperkosa tentara Belanda selama pembantaian desanya pada tahun 1949, serta seorang pria Indonesia yang disiksa saat ditangkap Belanda di 1947, "katanya kepada ABC.

"Dulu, masa kolonial suatu negara, seperti Belanda, dianggap sebagai sumber kebanggaan nasional," kata Liesbeth.

"Saya pikir penting bagi Belanda untuk memperhatikan masa lalu kolonialnya."

Sejarah kekerasan di Indonesia


Peta Batavia, yang sekarang menjadi Jakarta, ibukota Indonesia. (Foto: Dutch National Archive)

Pemerintahan Belanda di Indonesia berjalan dengan banyak menumpahkan darah. Pembantaian Batavia tahun 1740, yang disebut dalam bahasa Belanda sebagai 'Chinezenmoord' (pembunuhan terhadap orang Cina), adalah pembantaian tentara Belanda terhadap 10.000 etnis Cina di tempat yang sekarang disebut Jakarta.

Bulan Desember 1947, pasukan Belanda menewaskan sekitar 431 orang di desa Rawagede, karena mereka tidak mengungkapkan keberadaan pemimpin nasionalis yang saat itu sedang diburu.

Baru di tahun 2011 Belanda pertama kalinya mengakui kekejaman era kolonial dengan meminta maaf atas pembantaian Rawagede.

"Atas nama pemerintah Belanda, saya meminta maaf atas tragedi yang terjadi di Rawagede pada 9 Desember 1947," kata duta besar Belanda untuk Indonesia saat itu, Tjeerd de Zwaan.

Baca juga: Jalan Panjang Kembalinya Keris Diponegoro ke Tangan Ibu Pertiwi


Warga desa di Aceh yang terbantai saat serangan Belanda di tahun 1904. (Foto: Koleksi Tropenmuseum)

Kemudian pada 2013, Tjeerd meminta maaf untuk semua "akibat yang dilakukan pasukan Belanda", antara tahun 1945 dan 1949, khususnya di kawasan Celebes dan Rawagede. "Terkadang sangat penting untuk dapat melihat ke belakang agar dapat saling menatap lurus dan bergerak maju bersama."

Bulan Maret lalu, Raja Willem-Alexander dari Belanda menyampaikan penyesalan dan meminta maaf "atas kekerasan berlebihan oleh pihak Belanda", merujuk serangkaian kejadian di tahun 1940-an.

"Saya menyadari rasa sakit dan kesedihan dari keluarga yang akan merasakan dampaknya selama beberapa generasi," kata Raja Willem-Alexander saat konferensi pers bersama Presiden Indonesia Joko Widodo.


Raja Belanda Willem-Alexander dan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, 10 Maret 2020. (Reuters: Sigid Kurniawan via Antara Foto)

"Perhatikan raja Belanda tidak meminta maaf atas kolonialisme atau kekerasan, hanya mengatakan kekerasan yang 'berlebihan'," kata Dirk Moses, seorang profesor sejarah genosida di University of Sydney.

"Jadi sepertinya dia tidak menyangkal hak Belanda untuk merebut kembali koloni mereka, seperti yang mereka lakukan saat itu."

"Seperti halnya Inggris, Belanda menganggap pemerintahan mereka bersifat mencerahkan dan progresif dibandingkan, katakanlah, dengan Spanyol."

Penulis :
Widji Ananta