
Pantau - Ibadah puasa di bulan suci Ramadan, nyatanya tidak melemahkan semangat juang para ulama dan mujahid tanah air untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Hal ini pernah terjadi dalam masa perang kemerdekaan. Kala itu, Belanda ingin kembali menancapkan pengaruhnya di Indonesia yang telah memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Belanda yang kembali datang bersama tentara sekutu, mencoba merebut kembali wilayah jajahannya melalui operasi Agresi Militer I pada tahun 1947. Lewat agresi ini, Belanda ingin menguasai kembali Indonesia sebagai tanah jajahan untuk menjadi wilayah persemakmuran kerajaan Belanda.
Akibat hal ini, rakyat Indonesia menjadi murka. Langkah tentara Belanda melalui NICA mendapatkan perlawanan dari bangsa Indonesia, khususnya dari kalangan umat Islam.
Di Sumatera Selatan, Agresi militer I Belanda terjadi di hari ketiga bulan puasa. Aksi itu dimulai setelah umat Islam baru saja selesai melakukan sahur sekitar pukul 04.00 pagi.
Sementara itu, di Jawa Timur, pertempuran antara alim ulama melawan tentara Belanda juga meletus di Pamekasan saat bulan Ramadan. Dengan keberanian dan semangat juang tinggi, rakyat Madura merasa berkewajiban untuk menyiapkan tenaga untuk head to head dalam perang fisik melawan penjajah Belanda.
Sehubungan dengan hal tersebut, para ulama se-Madura menggelar musyawarah di Pamekasan. Rapat akbar tersebut menghasilkan keputusan, "Bagi umat Islam laki-laki dan perempuan wajib hukumnya ikut perang jihad fisabilillah mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dan mengusir penjajah Belanda!"
Keputusan tersebut langsung menjalar ke tiap nadi masyarakat Madura yang mayoritas muslim. Ulama menegaskan, perlawanan melawan Belanda, selain untuk mempertahankan Republik Indonesia, juga untuk menegakkan Islam yang merupakan cita-cita umat Islam Indonesia.
Para ulama menyadari, selama Indonesia di bawah kekuasaan Belanda, umat Islam tidak akan pernah mendapatkan keleluasaan untuk menjalankan agama mereka.
Semangat jihad itulah yang membawa ulama dan warga Pamekasan terjun ke medan pertempuran. Rasa lapar dan dahaga tak menyurutkan nyali mereka menghalau penjajah.
Dari peperangan ini, 65 orang tentara penjajah Belanda tewas. Sementara tiga truk berhasil diangkut ke Surabaya. Sedangkan di pihak pejuang, dilaporkan 85 orang meninggal dunia.
Selain di Madura, gelora perlawanan melawan Agresi Militer Belanda I juga meletus di Aceh. Jelang bulan suci Ramadan, ulama Aceh menggelar rapat umum di pekarangan Masjid Raya Baiturrahman.
Dibuka dengan pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an, para ulama menegaskan, puasa tidak boleh menghalangi seseorang untuk berjuang.
"Karena itu, sambil berpuasa berjuanglah, dan sambil berjuang berpuasalah!" demikian pesan para ulama yang membakar semangat para mujahid maju ke medan pertempuran.
Residen Aceh juga mengeluarkan seruan sama agar umat Islam di Aceh senantiasa bersiap-sedia menghadapi segala kemungkinan yang datang akibat keserakahan Belanda.
"Jadikanlah ibadah puasa sebagai jembatan untuk mempertebal iman dan perjuangan. Kita selalu digempur dengan cara besar-besaran oleh tentara Belanda. Jangan disangka kita akan lemah dalam menghadapi mereka karena kita sedang berpuasa. Kita kuat dan tetap kuat menghadapi mereka, kapan saja dan di mana saja," demikian isi maklumat Residen Aceh dalam rapat umum yang ditutup lewat pembacaan doa.
Berdasarkan catatan sejarah tersebut, bulan puasa tidak menghalangi mereka untuk pergi berperang melawan penjajah meski dalam kondisi lapar. Hal ini juga telah dicontohkan Rasulullah SAW dan kaum muslimin saat Perang Badar yang juga berlangsung pada bulan Ramadan.
Hal ini pernah terjadi dalam masa perang kemerdekaan. Kala itu, Belanda ingin kembali menancapkan pengaruhnya di Indonesia yang telah memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Belanda yang kembali datang bersama tentara sekutu, mencoba merebut kembali wilayah jajahannya melalui operasi Agresi Militer I pada tahun 1947. Lewat agresi ini, Belanda ingin menguasai kembali Indonesia sebagai tanah jajahan untuk menjadi wilayah persemakmuran kerajaan Belanda.
Akibat hal ini, rakyat Indonesia menjadi murka. Langkah tentara Belanda melalui NICA mendapatkan perlawanan dari bangsa Indonesia, khususnya dari kalangan umat Islam.
Di Sumatera Selatan, Agresi militer I Belanda terjadi di hari ketiga bulan puasa. Aksi itu dimulai setelah umat Islam baru saja selesai melakukan sahur sekitar pukul 04.00 pagi.
Sementara itu, di Jawa Timur, pertempuran antara alim ulama melawan tentara Belanda juga meletus di Pamekasan saat bulan Ramadan. Dengan keberanian dan semangat juang tinggi, rakyat Madura merasa berkewajiban untuk menyiapkan tenaga untuk head to head dalam perang fisik melawan penjajah Belanda.
Sehubungan dengan hal tersebut, para ulama se-Madura menggelar musyawarah di Pamekasan. Rapat akbar tersebut menghasilkan keputusan, "Bagi umat Islam laki-laki dan perempuan wajib hukumnya ikut perang jihad fisabilillah mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dan mengusir penjajah Belanda!"
Keputusan tersebut langsung menjalar ke tiap nadi masyarakat Madura yang mayoritas muslim. Ulama menegaskan, perlawanan melawan Belanda, selain untuk mempertahankan Republik Indonesia, juga untuk menegakkan Islam yang merupakan cita-cita umat Islam Indonesia.
Para ulama menyadari, selama Indonesia di bawah kekuasaan Belanda, umat Islam tidak akan pernah mendapatkan keleluasaan untuk menjalankan agama mereka.
Semangat jihad itulah yang membawa ulama dan warga Pamekasan terjun ke medan pertempuran. Rasa lapar dan dahaga tak menyurutkan nyali mereka menghalau penjajah.
Dari peperangan ini, 65 orang tentara penjajah Belanda tewas. Sementara tiga truk berhasil diangkut ke Surabaya. Sedangkan di pihak pejuang, dilaporkan 85 orang meninggal dunia.
Selain di Madura, gelora perlawanan melawan Agresi Militer Belanda I juga meletus di Aceh. Jelang bulan suci Ramadan, ulama Aceh menggelar rapat umum di pekarangan Masjid Raya Baiturrahman.
Dibuka dengan pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an, para ulama menegaskan, puasa tidak boleh menghalangi seseorang untuk berjuang.
"Karena itu, sambil berpuasa berjuanglah, dan sambil berjuang berpuasalah!" demikian pesan para ulama yang membakar semangat para mujahid maju ke medan pertempuran.
Residen Aceh juga mengeluarkan seruan sama agar umat Islam di Aceh senantiasa bersiap-sedia menghadapi segala kemungkinan yang datang akibat keserakahan Belanda.
"Jadikanlah ibadah puasa sebagai jembatan untuk mempertebal iman dan perjuangan. Kita selalu digempur dengan cara besar-besaran oleh tentara Belanda. Jangan disangka kita akan lemah dalam menghadapi mereka karena kita sedang berpuasa. Kita kuat dan tetap kuat menghadapi mereka, kapan saja dan di mana saja," demikian isi maklumat Residen Aceh dalam rapat umum yang ditutup lewat pembacaan doa.
Berdasarkan catatan sejarah tersebut, bulan puasa tidak menghalangi mereka untuk pergi berperang melawan penjajah meski dalam kondisi lapar. Hal ini juga telah dicontohkan Rasulullah SAW dan kaum muslimin saat Perang Badar yang juga berlangsung pada bulan Ramadan.
- Penulis :
- Aditya Andreas