
Pantau - PDI Perjuangan menyampaikan dukungan pemohon supaya sistem Pemilu 2024 diubah menjadi proporsional tertutup.
Hal itu dinyatakan anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan saat menghadiri sidang gugatan Pemilu sistem proporsional terbuka di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta.
Dalam sidang tersebut, PDIP membantah sistem Pemilu proporsinal tertutup menimbulkan fenomena masyarakat seperti membeli kucing dalam karung.
Pasalnya, dalam era media sosial seperti sekarang ini, calon anggota legislatif (caleg) bisa disingkap rekam jejaknya, bahkan nama caleg tetap dipublikasikan.
"Kekhawatiran yang demikian sangat tidak beralasan karena dalam sistem proporsional tertutup, memang mencobolos gambar parpol tapi tetap terpampang nama caleg yang bisa dibaca siapa calonnya," kata anggota DPR dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan dalam sidang MK yang disiarkan chanel YouTube MK, Kamis (26/1/2023).
Hal itu disampaikan dalam sidang yang diajukan oleh:
1. Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo)
2. Yuwono Pintadi
3. Fahrurrozi (bacaleg 2024)
4. Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jaksel)
5. Riyanto (warga Pekalongan)
6. Nono Marijono (warga Depok)
"Apa iya parpol mau ugal-ugalan menempatkan orang? Pastinya tidak karena akan berimplikasi langsung pada elektoral partai itu sendiri," ungkap Arteria.
Tak hanya itu, Arteria menilai sistem proporsional terbuka sebagaimana sudah diterapkan Indonesia di era Reformasi tidak cocok untuk pemilih yang berwawasan minim.
"Sejak penerapan sistem proporsional terbuka, ternyata dalam praktiknya timbul berbagai dinamika yang tidak diharapkan," kata Arteria.
"Sebagai contoh, fraksi PDI-P menyampaikan berbagai temuan, diperlukan waktu dan tenaga SDM yang lebih untuk melakukan rangkaian proses administrasi, pencetakan surat suara masing-masing daerah, kesulitan pemilih khususnya bagi pemilih yang tidak cukup memadai pengetahuan politiknya," sambungnya.
Seperti diketahui, para pemohon bertumpu ihwal parpol memiliki fungsi merekrut caleg yang memenuhi syarat dan berkualitas. Oleh karenanya, parpol berwenang menentukan caleg yang akan duduk di lembaga legislatif.
"Menyatakan frase 'proporsional' Pasal 168 ayat 2 UU Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'sistem proporsional tertutup'," urai pemohon.
Arteria menegaskan, sistem Pemilu proporsional tertutup memiliki karakteristik pada konsep kedaulatan parpol.
Parpol memiliki kedaulatan menentukan kadernya duduk di lembaga perwakilan melalui serangkaian proses pendidikan dan rekrutmen politik yang dilakukan secara demokratis sebagai amanat UU Parpol.
"Dengan demikian, ada jaminan kepada pemilih calon yang dipilih parpol memiliki kualitas dan kemampuan sebagai wakil rakyat," bebernya.
Polemik ini kian ramai saat 8 Parpol di DPR RI membuat pernyataan bersama menolak sistem proporsional tertutup.
Hal itu dinyatakan anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan saat menghadiri sidang gugatan Pemilu sistem proporsional terbuka di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta.
Dalam sidang tersebut, PDIP membantah sistem Pemilu proporsinal tertutup menimbulkan fenomena masyarakat seperti membeli kucing dalam karung.
Pasalnya, dalam era media sosial seperti sekarang ini, calon anggota legislatif (caleg) bisa disingkap rekam jejaknya, bahkan nama caleg tetap dipublikasikan.
"Kekhawatiran yang demikian sangat tidak beralasan karena dalam sistem proporsional tertutup, memang mencobolos gambar parpol tapi tetap terpampang nama caleg yang bisa dibaca siapa calonnya," kata anggota DPR dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan dalam sidang MK yang disiarkan chanel YouTube MK, Kamis (26/1/2023).
Hal itu disampaikan dalam sidang yang diajukan oleh:
1. Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo)
2. Yuwono Pintadi
3. Fahrurrozi (bacaleg 2024)
4. Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jaksel)
5. Riyanto (warga Pekalongan)
6. Nono Marijono (warga Depok)
"Apa iya parpol mau ugal-ugalan menempatkan orang? Pastinya tidak karena akan berimplikasi langsung pada elektoral partai itu sendiri," ungkap Arteria.
Tak hanya itu, Arteria menilai sistem proporsional terbuka sebagaimana sudah diterapkan Indonesia di era Reformasi tidak cocok untuk pemilih yang berwawasan minim.
"Sejak penerapan sistem proporsional terbuka, ternyata dalam praktiknya timbul berbagai dinamika yang tidak diharapkan," kata Arteria.
"Sebagai contoh, fraksi PDI-P menyampaikan berbagai temuan, diperlukan waktu dan tenaga SDM yang lebih untuk melakukan rangkaian proses administrasi, pencetakan surat suara masing-masing daerah, kesulitan pemilih khususnya bagi pemilih yang tidak cukup memadai pengetahuan politiknya," sambungnya.
Seperti diketahui, para pemohon bertumpu ihwal parpol memiliki fungsi merekrut caleg yang memenuhi syarat dan berkualitas. Oleh karenanya, parpol berwenang menentukan caleg yang akan duduk di lembaga legislatif.
"Menyatakan frase 'proporsional' Pasal 168 ayat 2 UU Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'sistem proporsional tertutup'," urai pemohon.
Arteria menegaskan, sistem Pemilu proporsional tertutup memiliki karakteristik pada konsep kedaulatan parpol.
Parpol memiliki kedaulatan menentukan kadernya duduk di lembaga perwakilan melalui serangkaian proses pendidikan dan rekrutmen politik yang dilakukan secara demokratis sebagai amanat UU Parpol.
"Dengan demikian, ada jaminan kepada pemilih calon yang dipilih parpol memiliki kualitas dan kemampuan sebagai wakil rakyat," bebernya.
Polemik ini kian ramai saat 8 Parpol di DPR RI membuat pernyataan bersama menolak sistem proporsional tertutup.
- Penulis :
- khaliedmalvino