
Pantau - Film dokumenter 'Dirty Vote' mengangkat berbagai kecurangan yang terjadi dalam Pemilu 2024, termasuk membahas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia calon wakil presiden (cawapres).
Menurut ahli hukum tata negara Bivitri Susanti yang menjadi bintang tamu dalam film tersebut, terdapat sejumlah kejanggalan dalam putusan tersebut.
Pertama, Bivitri mencatat adanya kontradiksi dalam putusan MK terkait syarat pencalonan yang ditolak sebanyak 31 kali dengan berbagai alasan. Namun, syarat lain hanya ditolak satu kali dan berlanjut sampai putusan.
Kedua, ia menyoroti bahwa putusan MK tersebut lahir secara instan tanpa melibatkan DPR, yang seharusnya menjadi lembaga pembuat undang-undang.
Perubahan undang-undang seharusnya melalui proses yang lebih formal dan terbuka, namun dalam kasus ini, putusan tersebut dianggap tidak memenuhi prosedur yang sesuai.
Ketiga, Bivitri menunjukkan adanya konflik kepentingan dalam putusan MK, meskipun tidak menjelaskan secara detail. Ini menimbulkan keraguan akan objektivitas putusan tersebut.
Keempat, terdapat pendapat hukum dari 9 hakim konstitusi, di mana terdapat dua hakim yang memberikan pendapat yang lebih condong untuk menolak permohonan, namun dimasukkan ke dalam kategori mengabulkan. Hal ini menimbulkan kebingungan terkait konsistensi pendapat hakim.
Kelima, semua permohonan terkait masalah ini ditolak kecuali satu yang sangat spesifik, yang menimbulkan pertanyaan akan kriteria penilaian yang digunakan oleh MK.
Keenam, keputusan MK tersebut langsung berlaku tanpa ditunda, padahal ada argumen bahwa keputusan tersebut bisa ditunda hingga pemilu berikutnya.
Ketujuh, Bivitri mencatat bahwa permohonan terkait batas usia cawapres sempat dicabut dan didaftarkan kembali pada hari libur, menimbulkan pertanyaan akan transparansi dan integritas dalam proses hukum.
Kedelapan, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah menetapkan bahwa Ketua MK telah melanggar etik berat. Namun, putusan MKMK tidak langsung membatalkan putusan sebelumnya, sehingga putusan tersebut tetap berlaku.
Kesembilan, Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna diduga memiliki potensi konflik kepentingan karena menantunya menjadi calon anggota legislatif dari partai dalam koalisi Prabowo-Gibran. Anaknya juga terlibat dalam pengurusan partai tersebut.
Kesepuluh, Bivitri mencurigai adanya indikasi transaksi dalam proses permohonan batas usia cawapres. Indikasi ini muncul setelah pemohon menggugat Gibran Rakabuming Raka karena wanprestasi.
Terakhir, Anwar Usman yang telah mendapat sanksi etik atas putusan batas usia cawapres, dianggap ingin kembali menjabat sebagai Ketua MK. Hal ini terlihat dari gugatannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
- Penulis :
- Aditya Andreas