
Kalau kamu pecinta bola, pasti pernah membayangkan: gimana rasanya kalau klub kesayangan akhirnya promosi ke Premier League? Main bareng Manchester United, tanding lawan Liverpool, stadion penuh, dan uang mengalir miliaran. Kedengarannya seperti mimpi masa kecil yang jadi kenyataan.
Tapi seperti banyak mimpi lain, realitasnya sering tak seindah yang dibayangkan.
Sunderland, klub legendaris dari Inggris Utara, akhirnya kembali ke Premier League setelah delapan tahun terombang-ambing di Championship dan sempat jatuh ke League One. Ini bukan klub kecil. Mereka punya sejarah panjang dan gelar liga sebanyak Chelsea. Yang membuat kisah ini makin manis, gol kemenangan di final playoff dicetak oleh pemain muda akademi sendiri, Tom Watson, di menit ke-95. Skrip film tak bisa menulisnya lebih indah.
Namun film ini belum tentu berakhir dengan bahagia.
Mimpi Indah atau Awal dari Mimpi Buruk?
Dari 15 tim terakhir yang promosi ke Premier League, hanya lima yang berhasil bertahan. Enam tim promosi terakhir malah langsung turun lagi musim berikutnya. Bukan karena kekurangan semangat, tapi karena realitas yang keras. Gabungan poin tiga tim promosi musim lalu hanya 59—angka yang bahkan lebih rendah dari satu tim papan tengah beberapa musim lalu.
Masalah utamanya bukan hanya soal kualitas permainan, tapi soal jurang. Bukan jurang fisik, tapi jurang finansial dan sumber daya. Premier League kini telah menjelma menjadi sebuah ekosistem ultra-kapital di mana jurang finansial dan sumber daya menciptakan perbedaan mencolok antara klub-klub besar dan tim promosi.
Misalnya, untuk musim 2023–2024, total pendapatan Premier League tercatat sebesar £6,29 miliar—sekitar Rp 120 triliun , jauh melampaui laju pendapatan di kasta di bawahnya. Klub-klub elite seperti Chelsea bahkan menelurkan skuad termahal di Eropa dengan nilai mencapai €1,66 miliar, sementara klub promosi dari Championship seperti Southampton hanya memiliki nilai squad sekitar €363 juta, hanya sekitar 20% dari nilai skuad satu klub besar.
Yang lebih mengejutkan: satu bangku cadangan pemain di klub papan atas bisa bernilai lebih dari seluruh tim promosi. Ambil contoh, Crystal Palace memiliki total nilai skuad sekitar £281 juta, padahal klub promosi seperti Millwall hanya bernilai total £32 juta .
Kondisi ini memberi keuntungan kompetitif masif: tim besar dapat membayar gaji tinggi, membeli pemain kelas atas, serta membangun infrastruktur hebat—mulai dari akademi modern, fasilitas medis, hingga tim data terintegrasi. Sementara itu, klub promosi belum bisa menyaingi dalam hal dana, pemanfaatan sumber daya, atau kapasitas administrasi.
Hasilnya? Klub-klub promosi seperti FC Leicester atau Southampton mampu dominasi di Championship, namun kesulitan keras di Premier League karena mereka bertanding bukan melawan tim dengan level permainan serupa, melainkan menghadapi kekuatan kapital dan organisasi yang jauh melampaui mereka.
Siklus “promosi, kekurangan modal, degradasi” pun menjadi fenomena yang semakin jamak. Sampai ada regulasi tegas soal distribusi pendapatan, revisi struktur parachute payment, atau pembatasan gaji ketat, jurang ini tetap sama dan menyempitkan kemungkinan tim kecil bertahan. Jika hal itu terus dibiarkan, Premiere League akan kehilangan esensi sepak bola: kisah Cinderella, keajaiban, dan harapan yang bisa muncul dari yang tak terduga.
Munculnya “Aristokrasi Finansial”
Sistem parachute payment, yang dirancang sebagai bantalan finansial untuk klub-klub yang baru degradasi dari Premier League, pada kenyataannya justru menambah ketimpangan di Championship. Dalam format yang saat ini berlaku, klub yang jatuh ke kasta kedua menerima 55% dari dana TV liga di tahun pertama, 45% di tahun kedua, dan tambahan 20 juta pound di tahun ketiga jika sempat bertahan lebih lama). Total paket ini bisa mencapai sekitar £49 juta per klub dalam satu musim, sebuah dukungan besar yang memberi keuntungan finansial signifikan bagi klub eks-Premier League.
Akhirnya, Championship menjadi ajang dua dunia yang bersebelahan: klub-klub kaya, beruntung, dan berpengalaman, berdiri sejajar dengan tetangga mereka yang kekurangan sumber daya dan keamanan finansial. Studi akademik menunjukkan bahwa klub yang mendapat parachute payment “dua kali lebih mungkin promosi kembali ke Premier League dibanding klub lain”, dan semakin banyak klub penerima pembayaran ini membuat persaingan di Championship makin timpang.
Bahkan pejabat EFL menggambarkan sistem ini sebagai penyebab munculnya “klub aristokrasi finansial” di liga—dengan kekayaan yang secara paradoks menciptakan peluang dominasi dan menutup harapan klub-klub lain.
Walaupun parachute payment bertujuan mulia—menghindari kebangkrutan akibat penurunan pendapatan—kenyataannya adalah sistem ini menciptakan kesenjangan struktural yang memperlebar jurang kompetisi, menghidupkan “liga dalam liga” di Championship.
Itu sebabnya, klub-klub yang promosi cenderung itu-itu saja. Dan ketika kembali ke Premier League, mereka tetap belum cukup kuat untuk bertahan. Ada pengecualian seperti Brentford atau Brighton, yang bisa bertahan karena punya sistem rekrutmen berbasis data dan logika. Tapi klub-klub seperti ini langka. Tidak semua punya pemilik seperti Matthew Benham, yang tahu cara membaca angka dan mengubahnya jadi gol.
Lalu muncul pertanyaan besar: apakah sekarang promosi justru jadi beban? Apakah impian itu perlahan berubah jadi kutukan?
Bertahan yang Nyaris Mustahil
Jawabannya tidak sesederhana ya atau tidak. Tapi yang jelas, hari ini bertahan di Premier League bagi tim kecil mungkin lebih sulit daripada memenangkan Liga Champions. Ini bukan hanya soal sepak bola, tapi juga soal struktur, soal kesempatan, soal mimpi-mimpi kecil yang mulai tak punya tempat.
Kalau sistem ini terus berjalan tanpa perubahan, kita akan melihat liga yang makin tertutup. Klub-klub besar tetap nyaman di atas, sementara sisanya hanya datang dan pergi seperti tamu yang tak diundang.
Dan saat itu terjadi, mungkin kita harus bertanya ulang: kenapa dulu kita mencintai permainan ini? Karena jika sepak bola hanya jadi urusan uang, statistik, dan daya beli, maka yang hilang adalah alasan paling dasar kenapa stadion pernah penuh oleh nyanyian dan harapan.
Bukan karena trofi. Tapi karena kemungkinan.
- Penulis :
- Ricky Setiawan