
Pantau.com - Wacana penundaan Pemilu 2024 mengemuka. Adalah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar, yang mengutarakan penundaan itu.
Usulan itu tercetus usai Muhaimin menerima pelaku usaha mikro, pengusaha dan para analis ekonomi di ruang delegasi DPR, Jakarta, Rabu, 23 Februari 2022.
Indonesia diprediksi dua tahun akan mengalami momen peningkatan ekonomi setelah dua tahun pandemi Covid-19. Momen itu, menurutnya, tidak boleh terganggu dengan adanya pesta politik. Transisi kekuasan, kata Muhaimin, akan menyebabkan ketidakpastian ekonomi. Usulannya ini nanti akan disampaikan ke Presiden Joko Widodo.
Menyikapi wacana ini, Guru Besar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana, menyampaikan kecemasannya. Wacana menunda pemilu berpotensi melecehkan konstitusi.
"Ini adalah perkembangan yang memalukan sekaligus membahayakan, karena itu harus ditanggapi dengan serius dan cepat. Wacana penundaan pemilu adalah bentuk pelanggaran konstitusi yang telanjang alias pelecehan konstitusi," ujar Denny kepada wartawan, Jumat, 25 Februari 2022.
Denny menjelaskan, dalam teori ketatanegaraan, pelanggaran konstusi hanya dimungkinkan daam situasi sangat darurat. Itu dilakukan untuk menyelamatkan negara dan ancaman yang berpotensi menghilangkan negara.
"Pelanggaran konstitusi harus jelas untuk penyelamatan negara dan melindungi seluruh rakyat Indonesia," katanya.
Indikator penting lainnya adalah pembatasan kekuasaan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagai pilar utama pronsip konstitusionalisme.
Dengan melihat hal itu, menunda Pemilu 2024 dengan alasan menambah masa jabatan presiden, memperpanjang masa jabatan parlemen dan kepala daerah, adalah bentuk pelanggaran konstitusi berjemaah.
"Karena didasari pada dahaga atas kekuasaan semata dan bukan berdasarkan perjuangan tegaknya negara hukum," tegasnya.
Denny menegaskan, konstitusi tidak boleh diubah untuk disalahgunakan, apalagi melanggengkan kekuasaan yang memang sudah dibatasi oleh konstitusi.
"Jika rencana pelecehan massal konstitusi ini terus dilanjutkan, maka kita sebagai anak bangsa harus berteriak lantang untuk menolaknya," tegasnya.
Para elite politik, kata Denny, harus disadarkan agar tidak melanggar konstitusi yang berlaku.
Joko Widodo, sebagai kepala negara yang sudah menjabat dua periode, juga harus meluruskan pelanggaran serius ini.
"Itu kalau beliau serius dengan sumpah jabatannya di atas Alquran untuk menjalankan konstitusi dengan selurus-lurusnya, dan jika beliau tidak ingin dianggap sebagai bagian dari pelaku yang justru mengorkestrasi pelanggaran konstitusi bernegara tersebut," tuturnya.
rn- Penulis :
- Aries Setiawan