
Pantau - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) didesak untuk tidak takut melakukan pemeriksaan terhadap salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden alias Wantimpres. Desakan tersebut berkaitan dengan dugaan penyimpangan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) Bank Mayapada, milik konglomerat Dato Sri Tahir.
“OJK tidak perlu takut dan ragu meski Tahir adalah anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Aturan adalah aturan,” ungkap Ketua Umum HMS Center, Hardjuno Wiwoho di Jakarta, akhir pekan ini.
Ia pun mendukung penuh langkah OJK menggandeng Aparat Penegak Hukum (APH) dalam pemeriksaan dugaan penyimpangan BMPK itu.
Selain itu, pihak bank diminta Hardjuno melakukan langkah-langkah penyelesaian permasalahan pelanggaran BMPK tersebut dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik sesuai ketentuan yang berlaku.
Di masa lalu, ujar Hardjuno, penyebab krisis perbankan 1998 lantaran pemilik bank yang memperkaya diri dari kredit yang diberikan. Bahkan banyak kredit macet, karena pemberian kredit yang asal-asalan sehingga membebani stabilitas sistem perbankan.
Untuk itu, tegas Hardjuno, pemilik Bank Mayapada Tahir perlu diperiksa OJK untuk mengetahui bila ternyata terjadi tindakan fraud.
Dalam kasus dugaan pelanggaran BMPK ini, Hardjuno berharap concern utama OJK adalah memastikan keselamatan bank dan nasabah-nasabah bank. Hal ini dinilai penting demi stabilitas sistem perbankan dan keuangan di Indonesia.
“Kita apresiasi OJK yang mau menggandeng APH dalam pemeriksaan dugaan pelanggaran BMPK Bank Mayapada. Ini kasus serius. Kita belajar dari BLBI, banyak pelanggaran menyangkut BMPK yang berujung kepada skandal besar,” jelas dia.
Lebih jauh pegiat antikorupsi ini mencontohkan dana BLBI yang dinikmati BCA dan dimiliki Salim Group. Nilainya mencapai Rp32 triliun. Anehnya, ada kredit jumbo dari BCA yang mengalir ke Salim group sebesar Rp52 triliun.
Artinya, Salim Group berutang ke BCA sebesar Rp52 triliun. “Patut diduga, polanya sama dengan BCA dan Mayapada. Kalau di BCA saat itu, kredit mengalir ke grup usaha Rp52 triliun, sedangkan Mayapada sekitar Rp23 triliun,” ungkapnya.
Ironisnya, lanjut Hardjuno, pemerintah menjual BCA ke Farallon dengan harga yang tak masuk akal murahnya.
Aset BCA Rp117 triliun, tapi dijual super obral 51% hanya Rp5 triliun. Patut diduga, bisa jadi pemilik lama masuk lagi ke bank tersebut.
“Siapa yang bisa menjamin, perusahaan yang kecipratan kredit jumbo itu, tidak terafiliasi dengan Mayapada. Atau kalau nanti bangkrut diambil alih pemerintah, kemudian dijual lagi, pemilik lama juga yang punya. Lewat perusahaan cangkang . Ini sangat tidak adil. Makanya kami mendukung OJK menggandeng aparat penegak hukum untuk membongkar kredit bermasalah di Bank Mayapada,” beber dia.
Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap pengawasan perbankan oleh OJK pada 2017-2019, Bank Mayapada termasuk 7 bank yang kesandung kredit bermasalah. Kredit Bank Mayapada terkonsentrasi di empat grup usaha.
Keempat grup dimaksud adalah Hanson International (Bentjok), Intiland (HSG/Hendro Santoso Gondokusumo), Saligading Bersama (Musyanif), dan Mayapada Grup (Dato Tahir).
Besarnya kredit yang melanggar BMPK mengalir ke Hanson International sebesar Rp12,39 triliun, Intiland Rp4,74 triliun, Mayapada Group Rp3,3 triliun dan Saligading Bersama Rp3,13 triliun. Kalau ditotal angkanya Rp23,56 triliun.
Jelas ada pelanggaran BMPK, karena modal inti Bank Mayapada kala itu, sebesar Rp10,42 triliun. Aturan BMPK mematok kredit tak boleh melebihi 20 persen dari modal inti. Untuk itu, kredit maksimal Bank Mayapada sejatinya adalah sebesar Rp2 triliun.
Istimewanya, PT Hanson International Tbk milik Benny Tjokrosaputro (Bentjok), terpidana seumur hidup kasus korupsi Jiwasraya itu, mendapat guyuran kredit terbesar, yakni Rp12,39 triliun. Bisa jadi, antara Dato Tahir yang anggota Wantimpres, dengan Bentjok adalah kawan bisnis.
Pada saat yang sama, Mayapada Group juga kebagian kredit bermasalah sebesar Rp3,3 triliun. “Jadi, ini bukan sekadar pelanggaran batas BMPK,” ulas dia.
Di atas semau itu, terdapat sejumlah catatan hitam BPK untuk bank berkode saham MAYA itu. Misalnya, penilaian kemampuan dan kepatutan seorang direksi yang tidak mempertimbangkan pelanggaran penandatanganan kredit di perseroan.
Selain itu, BPK menyoroti kredit bermasalah alias non-performing loan/NPL yang belum diselesaikan di mana underlying transaksi terkait aliran dana dari rekening debitur menjadi deposito atas nama komisaris utama Bank Mayapada yakni Dato Tahir. “Dan itu tadi, melanggar BMPK,” imbuh Hardjuno.
“OJK tidak perlu takut dan ragu meski Tahir adalah anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Aturan adalah aturan,” ungkap Ketua Umum HMS Center, Hardjuno Wiwoho di Jakarta, akhir pekan ini.
Ia pun mendukung penuh langkah OJK menggandeng Aparat Penegak Hukum (APH) dalam pemeriksaan dugaan penyimpangan BMPK itu.
Selain itu, pihak bank diminta Hardjuno melakukan langkah-langkah penyelesaian permasalahan pelanggaran BMPK tersebut dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik sesuai ketentuan yang berlaku.
Di masa lalu, ujar Hardjuno, penyebab krisis perbankan 1998 lantaran pemilik bank yang memperkaya diri dari kredit yang diberikan. Bahkan banyak kredit macet, karena pemberian kredit yang asal-asalan sehingga membebani stabilitas sistem perbankan.
Untuk itu, tegas Hardjuno, pemilik Bank Mayapada Tahir perlu diperiksa OJK untuk mengetahui bila ternyata terjadi tindakan fraud.
Dalam kasus dugaan pelanggaran BMPK ini, Hardjuno berharap concern utama OJK adalah memastikan keselamatan bank dan nasabah-nasabah bank. Hal ini dinilai penting demi stabilitas sistem perbankan dan keuangan di Indonesia.
“Kita apresiasi OJK yang mau menggandeng APH dalam pemeriksaan dugaan pelanggaran BMPK Bank Mayapada. Ini kasus serius. Kita belajar dari BLBI, banyak pelanggaran menyangkut BMPK yang berujung kepada skandal besar,” jelas dia.
Lebih jauh pegiat antikorupsi ini mencontohkan dana BLBI yang dinikmati BCA dan dimiliki Salim Group. Nilainya mencapai Rp32 triliun. Anehnya, ada kredit jumbo dari BCA yang mengalir ke Salim group sebesar Rp52 triliun.
Artinya, Salim Group berutang ke BCA sebesar Rp52 triliun. “Patut diduga, polanya sama dengan BCA dan Mayapada. Kalau di BCA saat itu, kredit mengalir ke grup usaha Rp52 triliun, sedangkan Mayapada sekitar Rp23 triliun,” ungkapnya.
Ironisnya, lanjut Hardjuno, pemerintah menjual BCA ke Farallon dengan harga yang tak masuk akal murahnya.
Aset BCA Rp117 triliun, tapi dijual super obral 51% hanya Rp5 triliun. Patut diduga, bisa jadi pemilik lama masuk lagi ke bank tersebut.
“Siapa yang bisa menjamin, perusahaan yang kecipratan kredit jumbo itu, tidak terafiliasi dengan Mayapada. Atau kalau nanti bangkrut diambil alih pemerintah, kemudian dijual lagi, pemilik lama juga yang punya. Lewat perusahaan cangkang . Ini sangat tidak adil. Makanya kami mendukung OJK menggandeng aparat penegak hukum untuk membongkar kredit bermasalah di Bank Mayapada,” beber dia.
Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap pengawasan perbankan oleh OJK pada 2017-2019, Bank Mayapada termasuk 7 bank yang kesandung kredit bermasalah. Kredit Bank Mayapada terkonsentrasi di empat grup usaha.
Keempat grup dimaksud adalah Hanson International (Bentjok), Intiland (HSG/Hendro Santoso Gondokusumo), Saligading Bersama (Musyanif), dan Mayapada Grup (Dato Tahir).
Besarnya kredit yang melanggar BMPK mengalir ke Hanson International sebesar Rp12,39 triliun, Intiland Rp4,74 triliun, Mayapada Group Rp3,3 triliun dan Saligading Bersama Rp3,13 triliun. Kalau ditotal angkanya Rp23,56 triliun.
Jelas ada pelanggaran BMPK, karena modal inti Bank Mayapada kala itu, sebesar Rp10,42 triliun. Aturan BMPK mematok kredit tak boleh melebihi 20 persen dari modal inti. Untuk itu, kredit maksimal Bank Mayapada sejatinya adalah sebesar Rp2 triliun.
Istimewanya, PT Hanson International Tbk milik Benny Tjokrosaputro (Bentjok), terpidana seumur hidup kasus korupsi Jiwasraya itu, mendapat guyuran kredit terbesar, yakni Rp12,39 triliun. Bisa jadi, antara Dato Tahir yang anggota Wantimpres, dengan Bentjok adalah kawan bisnis.
Pada saat yang sama, Mayapada Group juga kebagian kredit bermasalah sebesar Rp3,3 triliun. “Jadi, ini bukan sekadar pelanggaran batas BMPK,” ulas dia.
Di atas semau itu, terdapat sejumlah catatan hitam BPK untuk bank berkode saham MAYA itu. Misalnya, penilaian kemampuan dan kepatutan seorang direksi yang tidak mempertimbangkan pelanggaran penandatanganan kredit di perseroan.
Selain itu, BPK menyoroti kredit bermasalah alias non-performing loan/NPL yang belum diselesaikan di mana underlying transaksi terkait aliran dana dari rekening debitur menjadi deposito atas nama komisaris utama Bank Mayapada yakni Dato Tahir. “Dan itu tadi, melanggar BMPK,” imbuh Hardjuno.
#OJK#Wantimpres#BLBI#Dato' Sri Tahir#BCA#fraud#Bank Mayapada#Salim Group#Batas Maksimum Pemberian Kredit#BMPK
- Penulis :
- Ahmad Munjin