Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Komisi VII Minta Pemerintah Tinjau Ulang Kenaikan PPN 12 Persen

Oleh Aditya Andreas
SHARE   :

Komisi VII Minta Pemerintah Tinjau Ulang Kenaikan PPN 12 Persen
Foto: Ilustrasi kenaikan pajak. (foto: iStock)

Pantau - Anggota Komisi VII DPR RI, Hendry Munief, mendesak pemerintah untuk meninjau ulang rencana kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen yang direncanakan berlaku pada Januari 2025.

Hendry menyatakan, kebijakan ini berpotensi memberatkan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) serta melemahkan daya beli masyarakat.

“Saat ini bukan waktu yang tepat untuk menaikkan pajak, terutama ketika semua pihak sedang berjuang memulihkan ekonomi pasca-COVID-19,” ujar Hendry dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (18/11/2024).

Baca Juga: Untung Rugi Kenaikan PPN 12 Persen bagi Perekonomian Indonesia

Hendry menyoroti bahwa UMKM memiliki peran signifikan dalam perekonomian Indonesia, mencakup 99 persen dari seluruh unit usaha dan berkontribusi hingga 61 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), atau setara Rp9.580 triliun pada 2023. 

Kenaikan pajak ini, menurutnya, akan berdampak langsung pada sektor UMKM, baik yang mandiri maupun yang menjadi mitra industri besar. 

“Dengan kontribusi sebesar 61 persen terhadap PDB, kebijakan ini akan memengaruhi pendapatan nasional secara signifikan,” bebernya.

Hendry mengingatkan, kenaikan PPN sebesar 1 persen pada 2025 bukan kenaikan pertama dalam lima tahun terakhir. Pada 2022, pemerintah telah menaikkan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen. Dalam lima tahun, kenaikan ini mencapai 20 persen secara kumulatif. 

Baca Juga: Perluasan Objek Pajak Dinilai Lebih Efektif dari Kenaikan PPN Jadi 12 Persen

“Meski terlihat hanya naik 2 persen, dampaknya jauh lebih besar karena memengaruhi harga barang, keuntungan sektor swasta, dan investasi jangka panjang,” katanya.

Ia mengusulkan agar pemerintah menunda rencana kenaikan PPN dan mencari cara lain untuk meningkatkan pendapatan nasional tanpa membebani masyarakat. 

Menurutnya, deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut menjadi indikasi melemahnya daya beli masyarakat. 

“Masih ada instrumen lain yang lebih elegan dan tidak berisiko untuk meningkatkan pendapatan nasional. Pemerintah harus bijak dalam mengambil keputusan di tengah situasi ekonomi yang sedang rapuh ini,” pungkasnya.

Penulis :
Aditya Andreas