Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Pangan Kuat, Negara Berdaulat: Seruan Arief Prasetyo Bangkitkan Komitmen Kedaulatan Pangan Indonesia

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

Pangan Kuat, Negara Berdaulat: Seruan Arief Prasetyo Bangkitkan Komitmen Kedaulatan Pangan Indonesia
Foto: (Sumber: Petani memilah jerami hasil giling padi saat panen di kawasan Baki, Sukoharjo, Jawa Tengah, Selasa (24/6/2025). Menurut data Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jawa Tengah pertumbuhan ekonomi Jateng tercatat pada triwulan satu 2025 sebesar 4,96 persen year on year (yoy) lebih tinggi dari pertumbuhan nasional sebesar 4,87 persen (yoy). Pertumbuhan tersebut didorong panen raya padi pada bulan Maret dan April. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/nz.)

Pantau - Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo, menegaskan bahwa kalimat “Pangan kuat, negara berdaulat” bukan sekadar slogan, melainkan visi besar tentang pentingnya kemandirian pangan sebagai dasar kedaulatan dan stabilitas negara, dalam sebuah acara penganugerahan inovasi benih dan bibit.

Menurutnya, bangsa yang kuat secara pangan adalah bangsa yang mampu memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri tanpa bergantung pada impor dari negara lain.

Ketahanan pangan yang dirancang secara sistematis diyakini mampu menjaga stabilitas harga, mengantisipasi dampak krisis global, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kedaulatan Pangan sebagai Pilar Strategis Negara

Arief menjelaskan bahwa kemandirian pangan memberi negara ruang untuk menetapkan kebijakan secara otonom, menjamin hak rakyat atas pangan, dan mengembangkan sistem pangan berbasis kearifan lokal.

Ia mengingatkan kembali pernyataan Bung Karno bahwa persoalan pangan adalah persoalan hidup dan mati bangsa.

Peringatan ini menjadi relevan karena Organisasi Pangan Dunia (FAO) terus memperingatkan ancaman krisis pangan global pasca pandemi COVID-19, akibat faktor seperti perubahan iklim ekstrem, konflik sosial, ledakan populasi, dan bencana kemanusiaan.

Indonesia sebagai negara dengan populasi keempat terbesar di dunia tidak boleh lengah, apalagi jika ingin mewujudkan cita-cita menjadi Lumbung Pangan Dunia 2045.

Salah satu langkah kunci adalah menjaga cadangan pangan pemerintah agar tetap aman dan dikelola secara profesional.

Pengalaman dua tahun lalu ketika cadangan beras nasional menipis drastis menjadi sinyal penting bahwa tata kelola pangan harus dibenahi.

Kapasitas Perum Bulog dalam mengelola cadangan pangan sempat dipertanyakan, baik dari aspek manajerial maupun beban keuangan yang menghambat fungsi strategisnya.

Situasi ini memerlukan solusi menyeluruh, bukan hanya tambal sulam kebijakan.

Transformasi Bulog dan Grand Desain Kedaulatan Pangan

Badan Pangan Nasional sesuai Perpres Nomor 66 Tahun 2021 memiliki peran strategis sebagai penggerak utama urusan pangan nasional.

Arief menekankan pentingnya penyusunan Grand Desain Pencapaian Kedaulatan Pangan dengan pendekatan roadmap teknokratik yang partisipatif.

“Prinsip ‘Sukses Perencanaan sama dengan Sukses Pelaksanaan’ harus jadi landasan,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti pentingnya kepemimpinan yang berkomitmen dan kompeten, bukan hanya pengulang retorika.

Presiden Prabowo Subianto tengah menggagas transformasi kelembagaan Bulog dari BUMN menjadi lembaga otonom pemerintah.

Langkah ini dimaksudkan agar Bulog dapat difungsikan kembali sebagai alat negara menjaga stabilitas pangan, bukan sekadar entitas bisnis.

Selama 36 tahun sebelumnya, Bulog berstatus sebagai lembaga pemerintah non-departemen.

Perubahan status ini perlu diatur dengan regulasi yang jelas agar fungsinya dapat dijalankan segera di lapangan.

Kedaulatan Pangan dalam Undang-Undang dan Tantangan Saat Ini

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 mengatur bahwa kedaulatan pangan mencakup tiga elemen utama: hak negara menetapkan kebijakan pangan secara mandiri, jaminan hak rakyat atas pangan, serta hak masyarakat menentukan sistem pangan berbasis potensi lokal.

Ketiga elemen ini saling terkait dan tidak bisa dipisahkan.

Namun, hingga saat ini Indonesia belum mencapai swasembada pangan secara menyeluruh.

Capaian swasembada masih terbatas pada beras, itu pun bergantung pada faktor cuaca dan musim.

Komoditas lain seperti kedelai, gula, jagung, daging sapi, dan bawang putih masih sangat tergantung pada impor.

UU juga mendefinisikan pangan secara luas, termasuk produk dari pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan, serta air dan bahan tambahan pangan.

Saat ini, ketahanan pangan sedang diuji oleh penurunan pasokan dan lonjakan harga.

Pemerintah tampak kesulitan mengendalikan stabilitas harga pasar.

Ketahanan pangan idealnya berarti ketersediaan pangan yang cukup, bergizi, aman, terjangkau, serta sesuai budaya dan agama masyarakat.

Sementara itu, kemandirian pangan seharusnya mencerminkan kemampuan bangsa memproduksi pangan dari dalam negeri secara bermartabat.

Namun, kemandirian pangan lebih sering menjadi jargon dalam pidato daripada menjadi kenyataan di lapangan.

Jika swasembada, ketahanan, dan kemandirian pangan belum terpenuhi, maka kedaulatan pangan masih menjadi cita-cita yang belum terwujud.

Untuk mencapainya, tiga fondasi tersebut harus diperkuat.

Langkah konkret seperti sinergi antarinstansi, transformasi kelembagaan seperti Bulog, dan kebijakan berbasis data serta kearifan lokal harus segera diwujudkan.

Dengan upaya sistemik ini, Indonesia memiliki peluang besar menjadi bangsa yang benar-benar berdaulat secara pangan.

Sebagaimana dikatakan Arief Prasetyo, “Pangan kuat, berarti negara berdaulat.”

Penulis :
Ahmad Yusuf
Editor :
Tria Dianti