billboard mobile
Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Klarifikasi Sri Mulyani atas Tuduhan "Beban Negara" Ungkap Bahaya Manipulasi Digital

Oleh Aditya Yohan
SHARE   :

Klarifikasi Sri Mulyani atas Tuduhan "Beban Negara" Ungkap Bahaya Manipulasi Digital
Foto: (Sumber: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam Konferensi Pers tentang RAPBN dan Nota Keuangan di Jakarta pada Jumat (25/8/2025). ANTARA/HO-Kemenkeu-Andi Al Hakim/pri.)

Pantau - Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadi sasaran kritik setelah potongan video pidatonya yang disalahartikan viral di media sosial, menimbulkan kesan bahwa ia menyebut gaji guru sebagai "beban negara".

Potongan tersebut tersebar luas dalam bentuk ratusan hingga ribuan konten digital yang menyudutkan Menkeu, seolah-olah tidak berpihak kepada guru dan tenaga pendidik.

Faktanya, dalam pidato asli di Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di ITB pada 7 Agustus 2025, Sri Mulyani tidak pernah menggunakan frasa "beban negara".

Pernyataan Asli dan Klarifikasi

Dalam pidatonya, Sri Mulyani menyampaikan, "Klaster kedua adalah untuk guru dan dosen. Itu belanjanya dari mulai gaji sampai dengan tunjangan kinerja tadi. Banyak di media sosial saya selalu mengatakan, 'Oh, menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya nggak besar'. Ini juga salah satu tantangan bagi keuangan negara. Apakah semuanya harus keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat," ungkapnya.

Kutipan tersebut menunjukkan konteks bahwa Menkeu membahas tantangan anggaran negara secara sistemik, bukan menyebut guru sebagai beban negara.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Deni Surjantoro, mengonfirmasi bahwa video yang beredar merupakan hasil deepfake atau rekayasa digital.

Ia menyatakan, "Video itu sudah dimanipulasi dan dipotong-potong sehingga menyesatkan publik," jelasnya.

Manipulasi Digital dan Tanggapan Pemerintah

Fenomena ini menjadi contoh nyata praktik framing dan deepfake yang menyebar cepat di kalangan masyarakat, khususnya generasi non-digital.

Menurut data BPS tahun 2021, generasi digital (usia 19–24 tahun) hanya mencakup 23,9 persen dari total populasi Indonesia.

Sebagian besar masyarakat yang berasal dari generasi non-digital cenderung lebih reaktif terhadap konten digital tanpa melakukan verifikasi.

Contoh serupa pernah terjadi saat foto kebakaran di Gunung Agung diberi narasi "erupsi", meskipun tidak terjadi letusan, namun tetap dipercaya secara luas.

Sri Mulyani menjadi korban dari pola serupa, di mana narasi keliru menciptakan persepsi publik yang salah terhadap kebijakan pemerintah.

Istilah "beban negara", bila pun digunakan, secara teknis bermakna tanggung jawab negara, bukan dalam konotasi negatif.

Fakta lain yang menguatkan komitmen pemerintah terhadap pendidikan adalah alokasi anggaran dalam RAPBN 2026 sebesar Rp757,8 triliun untuk sektor pendidikan.

Dari jumlah tersebut, Rp178,7 triliun dialokasikan khusus untuk peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru dan dosen.

Presiden Prabowo dalam pidato kenegaraannya menegaskan bahwa anggaran pendidikan mencapai 20 persen dari total RAPBN 2026 yang berjumlah Rp1.903,6 triliun, menjadikannya yang terbesar dalam sejarah Indonesia.

Pendidikan Jadi Prioritas, Bukan Beban

RAPBN 2026 juga mencakup delapan prioritas utama pemerintah, yaitu: pendidikan, ketahanan pangan, ketahanan energi, program makan bergizi gratis (MBG), kesehatan, penguatan koperasi desa Merah Putih dan UMKM, pertahanan negara, serta perumahan rakyat.

Anggaran lain yang dialokasikan mencakup:

  • Ketahanan pangan: Rp164,4 triliun
  • Ketahanan energi: Rp402,4 triliun
  • MBG: Rp335 triliun, menjangkau 82,9 juta siswa, ibu hamil, dan balita
  • Kesehatan: Rp244 triliun

Program juga mencakup dukungan terhadap pembangunan 770 ribu unit rumah rakyat dan pemberdayaan ekonomi lokal melalui koperasi dan UMKM.

Data dan kebijakan ini menunjukkan bahwa sektor pendidikan bukanlah beban negara, melainkan salah satu fondasi utama pembangunan nasional.

Masyarakat diimbau untuk memiliki kesalehan digital, yaitu kemampuan untuk menelusuri sumber informasi, memverifikasi kebenaran, serta tidak menyebarkan konten yang tidak etis atau menyesatkan.

Kasus yang menimpa Sri Mulyani menjadi pelajaran penting bahwa manipulasi konten digital bisa berdampak besar terhadap persepsi publik, dan penyebarannya berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum.

Penulis :
Aditya Yohan
Editor :
Tria Dianti