
Pantau - Hubungan antara sains dan politik telah lama menjadi topik perdebatan klasik, serupa dengan perdebatan antara agama dan negara, karena keduanya memiliki orientasi, bahasa, dan kepentingan yang berbeda.
Nathan Caplan dari Universitas Michigan, Amerika, melalui teorinya two communities theory pada tahun 1979, menggambarkan ilmuwan dan politikus sebagai dua komunitas berbeda yang seringkali hidup dalam dunia yang tidak saling bertemu.
Dalam artikelnya berjudul The Two Communities Theory and Knowledge Utilization yang terbit di jurnal American Behavioral Scientist, Caplan menyebutkan bahwa ilmuwan dan politikus berbeda dalam nilai, tujuan, alat bantu, konflik, penghargaan, dan bahasa.
Perbedaan ini menyebabkan mereka mendefinisikan masalah dan solusi dengan cara yang berbeda pula, sehingga membuka peluang prasangka dan kepercayaan diri berlebih dari masing-masing pihak.
Caplan menekankan pentingnya hubungan personal berbasis kepercayaan dan empati sebagai jembatan antara kedua dunia tersebut.
Pilar Filsafat Sains dan Ruang Pertemuan dengan Politik
Penulis artikel ini menjelaskan bahwa relasi antara sains dan politik dapat dianalisis secara filosofis melalui pemahaman terhadap ruang perbedaan dan ruang irisan antara keduanya.
Ilmuwan yang dimaksud mencakup peneliti, akademisi ilmu alam dan sosial, serta perekayasa di bidang riset, inovasi, dan teknologi.
Sementara itu, politikus dalam konteks ini mencakup politisi partai, pembuat kebijakan, serta pelaksana di eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Secara filosofis, sains berdiri di atas tiga pilar utama: ontologi (hakikat realitas), epistemologi (cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologi (tujuan dan nilai penggunaan ilmu).
Ilmuwan membutuhkan kemerdekaan dalam ontologi dan epistemologi karena mereka memahami objek kajian dan metodologinya lebih dalam.
Namun pada pilar aksiologi, keterlibatan politikus menjadi tak terhindarkan karena hasil riset ilmiah digunakan sebagai dasar penyusunan kebijakan publik.
Di titik inilah terjadi pertemuan antara sains dan politik: dalam proses pemanfaatan ilmu pengetahuan untuk kepentingan publik.
Kolaborasi Sains dan Politik untuk Kebijakan Berbasis Bukti
Kolaborasi antara sains dan politik telah menghasilkan terobosan besar dalam berbagai bidang, seperti teknologi nuklir, riset kedirgantaraan, energi, klimatologi, pertanian, dan pengelolaan lahan.
Kemajuan sains tidak hanya ditentukan oleh kapasitas riset, tetapi juga membutuhkan dukungan politik berupa arah kebijakan, pendanaan, infrastruktur, dan sistem penerapan hasil riset.
Tanpa dukungan politik, riset berisiko berhenti sebagai publikasi akademis tanpa implementasi nyata.
Penulis memberi contoh dalam bidang pertanian, khususnya riset regeneratif agrikultur berbasis kesehatan tanah, yang membutuhkan komitmen politik agar dapat diterapkan secara luas.
Sebaliknya, politikus memerlukan sains untuk menghasilkan evidence-based policy dengan data akurat, analisis ilmiah, dan rekomendasi kebijakan yang rasional.
Dalam era disrupsi informasi dan kebijakan populis, sains berfungsi sebagai pagar agar keputusan negara tetap rasional dan berbasis bukti.
Contoh kolaborasi nyata terlihat saat pandemi, ketika data epidemiologi, model matematika, dan riset vaksin menjadi dasar pengambilan kebijakan nasional.
Namun hubungan ini juga menyimpan potensi konflik, terutama saat hasil riset menyentuh kepentingan politik tertentu.
Contohnya, riset perubahan iklim yang mendorong kebijakan pengurangan energi fosil sering berhadapan dengan lobi industri dan kepentingan ekonomi.
Karena itu, diperlukan komunikasi sains yang efektif agar hasil riset tidak disalahartikan atau disalahgunakan.
Hubungan antara sains dan politik juga harus dijaga dengan etika: ilmuwan harus menjaga integritas data, sedangkan politikus harus memberi ruang bagi kebenaran ilmiah meski tidak selalu menguntungkan secara politik.
Dengan demikian, meskipun berasal dari dunia berbeda, ilmuwan dan politikus dapat bekerja sama dalam ranah aksiologi untuk membangun bangsa.
Kolaborasi ini akan berjalan baik jika kedua pihak saling memahami peran, menghormati batas, dan membangun komunikasi yang jujur dan transparan.
Sains dan politik bukan untuk saling mengendalikan, melainkan saling menguatkan demi kesejahteraan masyarakat.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf