billboard mobile
FLOII Event 2025 - Paralax
ads
Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

HIPMI Minta Kebijakan Cukai Rokok Berimbang: Jaga Kesehatan Publik, Lindungi Pekerja dan Petani

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

HIPMI Minta Kebijakan Cukai Rokok Berimbang: Jaga Kesehatan Publik, Lindungi Pekerja dan Petani
Foto: (Sumber: Pemusnahan rokok ilegal hasil penindakan Bea Cukai Bojonegoro, Jawa Timur, di halaman kantor setempat, Selasa (26/8/2025) (ANTARA / M. Yazid))

Pantau - Industri hasil tembakau masih menjadi salah satu topik paling sensitif dalam kebijakan fiskal Indonesia. Pemerintah dihadapkan pada dilema antara menekan konsumsi rokok demi kesehatan masyarakat dan menjaga keberlangsungan jutaan pekerja, petani, serta pelaku usaha kecil yang bergantung pada sektor ini.

Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) melalui Anthony Leong menegaskan pentingnya kebijakan cukai yang proporsional. Saat ini, tarif cukai rokok mencapai 57 persen dan menurutnya tidak bisa dipandang semata sebagai instrumen fiskal.

"Kebijakan cukai harus mempertimbangkan keseimbangan antara kesehatan masyarakat, penerimaan negara, dan perlindungan tenaga kerja", ujarnya.

Risiko Rokok Ilegal dan Dampak ke Petani

Anthony menjelaskan, jika harga rokok legal terlalu tinggi akibat cukai, konsumen bisa beralih ke rokok ilegal. Kondisi ini justru merugikan negara karena menurunkan penerimaan sekaligus membahayakan kesehatan publik mengingat rokok ilegal tidak melalui pengawasan standar.

Tujuan menekan prevalensi merokok pun bisa gagal, sementara industri legal terpukul.

Petani tembakau dan cengkeh akan merasakan dampak langsung apabila permintaan industri menurun. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan luas lahan tembakau di Indonesia mencapai lebih dari 230 ribu hektare dengan produksi ratusan ribu ton per tahun. Penurunan permintaan akan menurunkan harga jual di tingkat petani, sehingga kelompok yang berada di lapisan paling bawah akan paling rentan terdampak.

Anthony menekankan perlunya program diversifikasi komoditas agar petani memiliki alternatif sumber penghidupan, sekaligus penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang benar-benar diarahkan untuk memberdayakan petani, buruh, serta pelatihan ulang di daerah penghasil.

Peta Jalan Multiyears dan Dialog Sosial

HIPMI menilai kenaikan cukai sebaiknya dilakukan bertahap dengan peta jalan multiyears agar industri dan pekerja bisa beradaptasi. Pemerintah juga butuh waktu memperkuat sistem pengawasan terhadap rokok ilegal sehingga kebijakan tidak kontraproduktif.

Anthony mendorong adanya dialog reguler antara pemerintah, pelaku usaha, dan organisasi pekerja agar kebijakan grounded dan memiliki legitimasi sosial.

"Tujuan kesehatan publik tetap penting, tetapi tidak boleh menimbulkan masalah baru", tegasnya.

Menyeimbangkan Kesehatan, Fiskal, dan Kesejahteraan

Prevalensi merokok di Indonesia masih sekitar 28 persen dari populasi dewasa. Sementara itu, industri hasil tembakau menyumbang lebih dari Rp230 triliun ke kas negara pada 2024, menjadikannya pilar penting dalam penerimaan fiskal.

Menurut HIPMI, pemerintah harus menata transisi kebijakan dengan hati-hati agar penerimaan negara tetap terjaga tanpa mengorbankan masyarakat.

Indonesia, kata Anthony, membutuhkan jalan tengah yang realistis: generasi muda bebas dari kecanduan rokok, sementara pekerja dan petani tetap memiliki penghidupan.

Dengan strategi berimbang, cukai bisa menjadi instrumen yang menurunkan konsumsi, memperkuat industri legal, mengurangi peredaran rokok ilegal, sekaligus menumbuhkan ekonomi daerah.

Suara Anthony Leong mencerminkan dorongan bagi kebijakan fiskal yang tidak hanya pro-kesehatan, tetapi juga pro-pekerja, pro-petani, dan pro-pelaku usaha kecil.

Penulis :
Ahmad Yusuf