Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Middleman dalam Tata Niaga Beras: Antara Masalah Harga dan Potensi Kemitraan yang Adil

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

Middleman dalam Tata Niaga Beras: Antara Masalah Harga dan Potensi Kemitraan yang Adil
Foto: (Sumber : Ilustrasi - Sejumlah petani menurunkan beras dari atas mesin pemanen di areal persawahan Desa Lebo jaya, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Rabu (29/10/2025). ANTARA FOTO/Andry Denisah/nz.)

Pantau - Dalam ekosistem pangan nasional, peran middleman atau perantara masih menjadi topik hangat yang memicu perdebatan, khususnya dalam rantai tata niaga beras di Indonesia.

Sebagian pihak melihat middleman sebagai solusi distribusi, sementara lainnya menilai mereka sebagai penyebab ketidakefisienan dan distorsi harga di pasar.

Middleman hadir dalam berbagai bentuk seperti pedagang pengumpul, grosir, dan ritel, dan memainkan peran penting dalam memindahkan beras dari sawah ke pasar.

Mereka bukan sekadar pelaku kecil, melainkan bagian dari struktur ekonomi yang telah terbentuk selama puluhan tahun.

Antara Manfaat Distribusi dan Keterbatasan Petani

Di sisi positif, middleman membantu petani menjangkau pasar yang lebih luas dan menyediakan layanan logistik, distribusi, serta akses pembeli yang tidak dimiliki sebagian besar petani.

Mereka juga menjadi sumber informasi pasar, mengetahui preferensi konsumen, perubahan permintaan, hingga tren harga.

Informasi ini dapat membantu petani mengambil keputusan produksi yang lebih baik.

Dalam banyak kasus, middleman adalah pihak pertama yang membeli hasil panen, memberikan kepastian serapan, serta menawarkan kecepatan transaksi yang dibutuhkan oleh petani.

Namun, keterbatasan modal, fasilitas penyimpanan, dan akses pemasaran membuat petani sangat tergantung pada mereka.

Ketimpangan Struktur dan Permainan Harga

Di sisi lain, middleman memiliki kekuatan besar dalam menentukan harga beli dari petani dan harga jual ke konsumen.

Dalam praktiknya, mereka bisa menekan harga di tingkat petani, terutama saat petani tidak memiliki alternatif pembeli.

Panjang dan kompleksnya rantai distribusi juga menyebabkan kenaikan harga beras di tingkat eceran, meskipun harga di tingkat petani cenderung rendah.

Ironisnya, ketika harga pasar tinggi, petani tetap menjual gabah dengan harga murah karena posisi tawarnya lemah.

Struktur pasar beras yang oligopsoni di hulu dan oligopoli di hilir memperparah kondisi ini.

Middleman tidak lagi sekadar penghubung, tetapi berperan sebagai pengendali harga.

Tanggapan Pemerintah dan Upaya Solusi

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyebut permainan middleman sebagai salah satu penyebab naiknya harga beras, meskipun stok nasional melimpah.

Ia mencatat bahwa harga di tingkat petani dan grosir menurun, tetapi harga eceran justru meningkat, menandakan adanya distorsi distribusi.

Sebagai respons, pemerintah memperkenalkan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih sebagai upaya memotong rantai pasok dan mengurangi ketergantungan pada perantara.

Namun, muncul pertanyaan penting: apakah middleman selalu merugikan?

Jawabannya tidak sederhana.

Menuju Kemitraan yang Adil dan Transparan

Jika dibangun dengan keadilan dan transparansi, middleman justru bisa menjadi mitra penting bagi petani.

Mereka bisa membeli gabah dengan harga wajar, memberikan akses pasar, menjadi sumber informasi, dan bahkan mendistribusikan bantuan seperti bibit unggul atau pupuk bersubsidi.

Dalam banyak kasus, middleman adalah pihak yang paling dekat dengan petani, memahami kondisi lokal, dan hadir langsung di sawah.

Kemitraan berbasis kepercayaan dan kepentingan yang seimbang dapat menciptakan sinergi positif dalam sistem pangan nasional.

Solusi bukanlah menghapus peran mereka, melainkan membangun sistem tata niaga yang lebih adil bagi semua pihak.

Penulis :
Ahmad Yusuf