
Pantau.com - Penandatanganan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (IA-CEPA) antara Indonesia dan Australia dapat merugikan peternakan lokal dan menghambat pengembangan swasembada sapi dalam negeri, menurut Kepala Program Studi Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Tatok Djoko Sudiarto.
Pemerintah Indonesia dan Australia resmi menandatangani IA-CEPA pada Senin (4 Maret 2019) di Jakarta, sembilan tahun sejak pertama kali perjanjian itu dirumuskan. Perjanjian ini akan diratifikasi oleh kedua negara dan ditargetkan akan berlaku di akhir tahun ini.
Perjanjian, yang ditandatangani Menteri Perdagangan Indonesia H.E. Enggartiasto Lukita dan Menteri Perdagangan, Pariwisata dan Investasi Australia, Simon Birmingham, di antaranya mengatur tarif dagang antara ke dua negara.
Baca juga: Orang Kaya China Was-was Negaranya Bisa Berakhir Seperti Venezuela
Melalui IA-CEPA, Indonesia akan mendapatkan fasilitas 100 persen bebas bea masuk ke Australia. Sementara, secara bertahap, Australia mendapatkan bebas bea masuk ke Indonesia sebesar 94 persen. Industri yang akan terdampak dari perjanjian ini antara lain pangan, pertanian, otomotif, tekstil, dan furnitur.
Sejauh ini, Indonesia bergantung pada Australia dalam hal pengadaan daging sapi dalam negeri. Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 2017 Indonesia mengimpor daging sapi sekitar 160.000 ton. Sebesar 53 persen daging sapi impor tersebut berasal dari Australia.
Data BPS itu mengatakan impor dilakukan karena kebutuhan daging sapi nasional mencapai 784.000 ton, tapi peternak lokal hanya mampu menghasilkan 532.000 ton daging.
Dikutip BBC, Kepala Program Studi Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Tatok Djoko Sudiarto, mengatakan perjanjian ini dapat menyebabkan mayoritas stok daging Indonesia berasal dari Australia. Hal itu, tentu akan berimplikasi pada harga daging impor yang lebih murah dibanding harga lokal.
Baca juga: Lebih dari 4.300 Toko Tutup di 2019, Usaha Ritel 'Kiamat'?
Keadaan itu, kata Tatok, akan menekan peternak lokal dan menghambat swasembada peternakan.
"Kalau kanal impor peternakannya dibuka lumayan kencang, policy untuk pengembangan peternakan dalam negeri akan lebih hancur karena grand design peternakan dalam negerinya kan nggak jelas," kata Tatok.
"Dengan guyuran produksi sapi luar negeri, maka insentif untuk pengembangan sapi dalam negeri kan rendah. Kalau insentif rendah, kita kan lebih baik impor," tambahnya.
Secara nasional, katanya, Indonesia akan semakin tergantung pada Australia dalam hal penyediaan daging sapi.
Peternak lokal khawatirkan implentasi perjanjian
Teguh Boediyana, ketua Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (DPP PPSKI), mengatakan perjanjian ini membuatnya makin sanksi Indonesia mampu swasembada peternakan pada tahun 2026, seperti yang ditargetkan pemerintah sebelumnya.
Ia mengatakan sampai saat ini pemerintah belum melakukan langkah signifikan untuk mengembangkan peternakan dalam negeri.
"Saya ini sudah desperate lah gitu. Ya karena bagaimana mau bersaing?" katanya.
Baca juga: IA-CEPA, Indonesia Bisa Manfaatkan Ekonomi Digital dari Australia
Di Indonesia daging sapi impor hanya boleh diperjualkan di restoran dan hotel, tak boleh di pasar tradisional. Ia mengatakan selain daging sapi Australia, peternak lokal juga harus bersaing dengan daging kerbau asal India yang harganya sangat murah.
Teguh menambahkan sejak era mantan presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), ia sudah meminta pemerintah untuk mengembangkan peternakan lokal, antara lain dengan penyediaan pakan sapi dan skema kredit murah untuk para peternak. Namun, ujarnya, sampai kini permintaan tersebut belum dijawab pemerintah.
- Penulis :
- Nani Suherni