HOME  ⁄  Ekonomi

Nasabah Tak Mau Layanan Konvensional Seusai Pandemi?

Oleh Tatang Adhiwidharta
SHARE   :

Nasabah Tak Mau Layanan Konvensional Seusai Pandemi?

Pantau.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan kepada perbankan bahwa nasabah diperkirakan tidak mau lagi memanfaatkan layanan konvensional dan bergeser ke arah digital setelah pandemi COVID-19.

“Layanan perbankan digital menjadi tantangan utama perbankan. Kalau tidak, sedikit demi sedikit, nasabah akan mencari bank yang bisa melayani digital,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana dalam webinar Infobank di Jakarta, Kamis (23/7/2020).

Baca juga: 5 Tren Keuangan 2020, Salah Satunya Menabung di Bank Online

Dari hasil survei terkait perilaku nasabah selama COVID-19, lanjut dia, sebanyak 35 persen nasabah ingin dapat mengajukan kredit dalam jaringan (daring), kemudian 41 persen dapat mengakses mutasi rekening lebih lama.

Tak hanya itu, sebanyak 42 persen nasabah menginginkan adanya layanan pembukaan rekening daring. Di sisi lain, kata dia, tren penggunaan layanan digital bank sudah terlihat sebelum adanya COVID-19 terlihat di antaranya munculnya tren penutupan kantor cabang dan tren penurunan pembukaan ATM.

Heru menambahkan dengan digitalisasi, maka perbankan dituntut menerapkan keamanan siber khusus dalam bertransaksi termasuk data nasabah. “Regulasi tentunya akan memfasilitasi bagaimana kami mendukung aturan terkait layanan ekonomi agar berkembang dengan baik,” imbuhnya.

OJK sudah menerbitkan dua Peraturan OJK No 12 tahun 2018 tentang Layanan Perbankan Digital dan Peraturan OJK N0 38 tahun 2016 tentang Manajemen Risiko Dalam Penggunaan Teknologi Informasi yang kemudian diamandemen dalam POJK No 13 tahun 2020.

Baca juga:  3 Alasan Pelaku UKM Harus Beralih ke Dompet Digital

Tak hanya terkait digital, lanjut Heru, perbankan juga dituntut melakukan manajemen likuiditas ketika melakukan restrukturisasi kredit. Tanpa tata kelola yang baik, ketika kredit nasabah mengalami masalah maka perbankan harus membentuk cadangan yang mengganggu modal.

“Tanpa menilai dengan sangat baik semua diberikan restrukturisasi akhirnya likuiditas terganggu, ada gap (celah) di likuiditas,” tukasnya.

Penulis :
Tatang Adhiwidharta