
Pantau - Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan kebijakan efisiensi anggaran melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025. Kebijakan ini menargetkan penghematan sebesar Rp306,6 triliun dari belanja kementerian/lembaga (K/L) dan transfer ke daerah. Salah satu kementerian yang terkena dampaknya adalah Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti), yang telah menerbitkan Surat Edaran No. 24 Tahun 2025 untuk menindaklanjuti kebijakan ini.
Meskipun pemotongan anggaran terutama menyasar perjalanan dinas dan rapat, Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas (FH Unand), Prof. Ferdi, menyoroti aspek hukum dari kebijakan tersebut. Ia menilai bahwa perubahan postur APBN 2025 yang sebelumnya ditetapkan dalam UU No. 62 Tahun 2024 tidak dapat dilakukan hanya melalui Inpres.
Baca Juga:
Fungsionaris Kadin: Efisiensi Anggaran Bukti Presiden Prabowo Pemimpin Besar
"Perubahan anggaran harus melalui mekanisme Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P), bukan sekadar Inpres. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan Inpres," ujar Prof. Ferdi, Kamis (20/2/2025).
Menurutnya, jika efisiensi anggaran tetap dilaksanakan hanya dengan dasar Inpres, maka hal itu bisa dikategorikan sebagai cacat hukum. Ia menegaskan bahwa pemerintah seharusnya tetap berpegang pada mekanisme perubahan anggaran yang sah melalui revisi UU APBN atau, jika diperlukan langkah cepat, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
"Jika memang diperlukan efisiensi dalam waktu singkat, pemerintah bisa menggunakan Perppu karena setara dengan UU. Dengan begitu, kebijakan ini tetap berjalan sesuai aturan hukum yang berlaku," tambahnya.
Kebijakan efisiensi anggaran ini memunculkan perdebatan, terutama terkait legalitasnya. Ke depan, pemerintah diharapkan mempertimbangkan mekanisme hukum yang lebih kuat agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan polemik di kemudian hari.
- Penulis :
- Ahmad Ryansyah