
Pantau - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan pada Rabu (29/1/2025), akan menginstruksikan Pentagon dan Departemen Keamanan Dalam Negeri untuk menyiapkan fasilitas penampungan migran di Guantanamo Bay, Kuba, yang dapat menampung hingga 30.000 orang.
Baca juga: 44 Migran Hilang dalam Tragedi Lampedusa, Hanya Satu yang Selamat
Pangkalan Angkatan Laut AS di Guantanamo Bay memang sudah memiliki fasilitas penampungan migran yang terpisah dari penjara keamanan tinggi bagi tersangka terorisme asing. Fasilitas ini telah digunakan selama beberapa dekade, termasuk untuk menahan migran Haiti dan Kuba yang tertangkap di laut.
Penasihat perbatasan Trump, Tom Homan menuturkan, pemerintahan AS akan memperluas fasilitas tersebut, dan pengelolaannya akan ditangani oleh Badan Imigrasi dan Bea Cukai (ICE).
"Hari ini saya menandatangani perintah eksekutif yang menginstruksikan Departemen Pertahanan dan Keamanan Dalam Negeri untuk mulai menyiapkan fasilitas migran berkapasitas 30.000 orang di Guantanamo Bay," kata Trump dalam konferensi pers di Gedung Putih.
Trump menegaskan, fasilitas itu akan digunakan untuk menahan imigran ilegal yang dianggap paling berbahaya.
"Beberapa dari mereka begitu berbahaya hingga kami bahkan tidak percaya negara asal mereka mampu menahan mereka. Jadi, kami akan mengirim mereka ke Guantanamo. Ini akan segera menggandakan kapasitas penahanan kita. Keras, bukan?" ujarnya.
Tak lama setelah pengumuman itu, Trump menandatangani memorandum yang tidak memerinci jumlah pasti migran, tetapi memerintahkan penambahan ruang detensi di fasilitas yang diperluas.
Berbicara kepada wartawan, Tom Homan menegaskan pusat detensi ini diperuntukkan bagi "yang terburuk dari yang terburuk."
Sementara itu, Menteri Keamanan Dalam Negeri AS, Kristi Noem menyatakan pemerintahan Trump sedang mengkaji anggaran yang dibutuhkan untuk proyek ini bersama Kongres AS.
Baca juga: Warga AS Membludak Ngebet Pindah Negara Pasca-kemenangan Trump
Guantanamo: Simbol Penyiksaan di ‘Perang Melawan Teror’
Fasilitas penahanan di Guantanamo Bay pertama kali dibuka pada 2002 oleh Presiden AS kala itu, George W. Bush, untuk menahan tersangka militan asing pasca serangan 11 September 2001. Kini, penjara itu masih menampung 15 tahanan.
Dua presiden Demokrat sebelum Trump, Barack Obama dan Joe Biden, berusaha menutup penjara Guantanamo, tetapi hanya berhasil mengurangi jumlah tahanan. Namun, Trump bersikeras untuk mempertahankannya.
Fasilitas ini telah lama dikritik oleh kelompok hak asasi manusia karena menerapkan penahanan tanpa batas waktu dan menjadi simbol kekerasan dalam "perang melawan teror", termasuk metode interogasi keras yang disebut sebagai bentuk penyiksaan.
Fasilitas untuk migran di Guantanamo ini berbeda dari pusat penahanan tersangka terorisme. Namun, rencana Trump menuai kecaman luas, termasuk dari Presiden Kuba, Miguel Diaz-Canel, yang menyebut kebijakan tersebut sebagai "tindakan brutal."
Kelompok pembela pengungsi mendesak Kongres AS untuk menyelidiki dugaan pelanggaran di fasilitas tersebut dan menyerukan agar kamp migran Guantanamo segera ditutup.
Dalam laporan tahun 2024, International Refugee Assistance Project mengungkapkan para tahanan mengeluhkan kondisi tidak higienis, keluarga dengan anak kecil ditempatkan bersama orang dewasa lajang, keterbatasan akses komunikasi rahasia, dan minimnya layanan pendidikan untuk anak-anak.
Sementara itu, militer AS mengumumkan Badan Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) kini diperbolehkan menahan migran di Pangkalan Angkatan Luar Angkasa Buckley di Colorado.
Keputusan ini menjadi bagian dari kebijakan imigrasi keras Trump, yang mencakup penerbangan deportasi massal dan pengiriman lebih dari 1.600 tentara aktif ke perbatasan AS-Meksiko setelah deklarasi darurat imigrasi pekan lalu.
Sumber: Reuters
- Penulis :
- Khalied Malvino