Pantau Flash
HOME  ⁄  Internasional

Warga Gaza Hadapi Pilihan Sulit di Tengah Serangan Israel: Mengungsi atau Tetap dalam Bahaya

Oleh Aditya Yohan
SHARE   :

Warga Gaza Hadapi Pilihan Sulit di Tengah Serangan Israel: Mengungsi atau Tetap dalam Bahaya
Foto: (Sumber: Warga Palestina memeriksa kerusakan beberapa rumah di permukiman Al-Nasr, Kota Gaza, setelah serangan udara Israel, pada 12 September 2025. ANTARA/Xinhua/Rizek Abdeljawad)

Pantau - Ribuan warga Gaza City terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat serangan udara Israel yang terus berlangsung, sementara banyak lainnya memilih bertahan meski dalam kondisi memprihatinkan tanpa jaminan keselamatan.

Mohammed Abu Rizq (45), warga lingkungan Shuja'iyya, kehilangan rumahnya beberapa bulan lalu dan kini tinggal bersama keluarganya di tenda darurat yang disediakan sekolah UNRWA di Gaza City bagian barat.

"Meninggalkan Gaza City, tempat kami dilahirkan, seperti jiwa meninggalkan raga," ungkapnya.

Ia mengatakan bahwa serangan udara terjadi siang dan malam, membuat kelima anaknya hidup dalam ketakutan.

"Kami akan pergi ke tempat baru di mana kami tidak tahu apakah ada tempat tinggal, makanan, atau kebutuhan dasar untuk bertahan hidup," tambahnya.

Gaza City Terus Dibombardir, Warga Terjebak dalam Krisis Kemanusiaan

Gaza City, kota dengan populasi tertinggi di Jalur Gaza, terus menjadi sasaran serangan udara selama berminggu-minggu.

Permukiman, pasar, dan fasilitas umum rusak parah akibat bombardir intensif dari militer Israel.

Juru bicara militer Israel, Avichay Adraee, menyebut kota tersebut sebagai "zona tempur yang berbahaya", dan mendesak warga untuk pindah.

Menurutnya, lebih dari 250.000 orang telah meninggalkan Gaza City sejauh ini.

Namun, tidak semua warga mampu mengungsi.

Mahmoud Basal, juru bicara Otoritas Pertahanan Sipil Gaza, memperingatkan bahwa banyak orang tidak bisa berpindah karena luka, usia lanjut, atau kondisi medis.

"Proses pengungsian tidak dapat diakses oleh semua orang, dan mereka yang ditinggalkan terekspos pada bahaya besar," ujarnya.

UNRWA melaporkan bahwa ribuan warga terpaksa berjalan kaki karena tidak adanya transportasi dan bahan bakar.

Tempat perlindungan yang tersedia kewalahan dan kekurangan kebutuhan dasar seperti air bersih, makanan, serta sanitasi, sehingga meningkatkan risiko wabah penyakit.

Mohammed Omar (38), ayah tiga anak, menceritakan bahwa ia harus menempuh perjalanan 10 jam menuju Al-Masha'la, Deir al-Balah.

Ia menyewa sebidang tanah tandus seluas 150 meter persegi seharga 250 dolar AS per bulan, serta menghabiskan 500 dolar AS untuk biaya perjalanan.

"Tidak ada kebutuhan dasar kehidupan di sini. Tidak ada air, tidak ada listrik, tidak ada makanan, dan tidak ada yang bisa melindungi kami dari teriknya matahari," keluhnya.

Serangan Terbaru Hancurkan Infrastruktur dan Perburuk Jumlah Korban

Dalam 24 jam terakhir, serangan udara Israel menghancurkan Menara al-Ghifari setinggi 16 lantai di Gaza City bagian barat, yang merupakan pusat komersial dan institusi media penting.

Sedikitnya 34 orang dilaporkan tewas akibat serangan tersebut, mayoritas di Gaza City.

Menurut otoritas kesehatan Gaza yang dikelola Hamas, total korban tewas sejak Oktober 2023 telah mencapai 64.905 jiwa.

Di tengah kekacauan, beberapa keluarga tetap memilih untuk tidak mengungsi, seperti Suhaila Ishtiwi (55), yang tinggal bersama anak dan kerabatnya di Gaza bagian barat.

"Bagi kami, mengungsi dan meninggalkan Gaza City adalah perjalanan menuju kematian," ujarnya.

"Ke mana kami bisa pergi? Tidak ada tempat perlindungan, kami tidak punya tenda, dan kami tidak mampu membayar biaya untuk mengungsi," tambahnya.

Organisasi lokal dan internasional terus menyuarakan keprihatinan atas kondisi kemanusiaan yang semakin memburuk di wilayah tersebut.

Penulis :
Aditya Yohan