
Pantau - Pada dasarnya setiap manusia pasti akan mengalami masa-masa jenuh terhadap aktivitas yang dilakukannya. Apa lagi jika lingkungan yang ada di sekitarnya tidak mampu men-support atau bahkan sebaliknya melakukan tindakan-tindakan yang tidak nyaman.
Mungkin kondisi ini mirip dengan apa yang dirasakan oleh Mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PDDS) Prodi Anestesia, Universitas Diponegoro (Undip), bernama Aulia Risma Lestari alias AR (30). Aulia (30) diduga bunuh diri dan ditemukan tewas dalam kamar kosnya yang berada di Kelurahan Lempongsari, Semarang, Jawa Tengah, pada Senin (12/8/2024) pada pukul 23.00 WIB.
Akibat kejadian ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melakukan penutupan sementara pada Prodi Anestesi FK Universitas Diponegoro hingga investigasi kasus ini selesai.
Dalam kasus ini, ada dugaan bullying yang dialami mahasiswi dokter spesialis tersebut. Kabar tersebut bermula dari Aulia yang sebelum tewas juga sempat bercerita ke ibunya mengenai beratnya kuliah dalam arti pelajarannya dan menyinggung urusan dengan dengan seniornya bahkan meminta resign. Curhatan itu ada dalam buku hariannya (diary) yang ditemukan kepolisian. Namun dugaan bullying masih didalami oleh kepolisian.
Baca juga: Heboh Pemerasan di UNDIP, Profesor Minta Pajero?
"Ibunya memang menyadari anak itu minta resign, sudah nggak kuat. Sudah curhat sama ibunya, satu mungkin sekolah, kedua mungkin menghadapi seniornya, seniornya itu kan perintahnya sewaktu-waktu minta ini itu, ini itu, keras," kata Kapolsek Gajahmungkur, Kompol Agus Hartono, Rabu (14/8/2024).
Selain korban, pada konteks bullying tentu pelaku juga akan mendapatkan dampak negatif dari hal tersebut. Dan Olweus, seorang psikolog kelahiran Swedia mengatakan bahwa pelaku bullying umumnya punya masalah emosional, seperti sulit dalam mengendalikan emosi dan/atau memiliki empati yang rendah. Saat sikap mereka berujung pada kematian korban, mereka kemungkinan besar akan mengalami trauma psikologis yang signifikan.
Kemudian, seorang psikolog sosial asal Amerika Serikat, Howard Kassinove berpendapat bahwasanya pelaku bullying sering meremehkan dampak atas perbuatan mereka terhadap korban. Saat mereka sadar akan akibat yang sangat serius dari perbuatan mereka, mereka mungkin mengalami disonansi kognitif yang kuat, yaitu ketidaksesuaian antara apa yang mereka lakukan dengan prinsip yang mereka pegang.
Baca juga: Heboh! Muncul Akun Instagram yang Beberkan Fakta di Balik Kematian Mahasiswi Dokter Spesialis Undip
Selain apa yang telah disampaikan oleh para ahli, ada beberapa dampak yang umum terjadi, yang dirasakan oleh pelaku setelah melakukan bullying menurut laman siloamhospitals.com adalah sebagai berikut:
- Gangguan emosi.
- Berisiko menjadi pecandu alkohol dan obat-obatan terlarang.
- Sulit mendapatkan pekerjaan saat beranjak dewasa.
- Berisiko menjadi pelaku kekerasan dalam lingkungan sosial dan rumah tangga (KDRT).
Berdasarkan kasus AR, banyak bersliweran komentar-komentar netizen terhadap kasus ini, yang diantaranya sebagai berikut:
“Kayaknya ini lagu lama. Mumpung ada korban aja baru ketahuan.. Menyedihkan”
“Bisa jadi ini sudah terjadi turun temurun...baru terbongkar karena adanya insiden...usut dan penjarakan senior pelaku perundungan...kalo UNDIP melawan kasih sanksi sekalian...UNDIP terbukri gagal melindungi keamanan psikis mahasiswanya”
Baca juga: Undip Bantah Mahasiswi Prodi Dokter Spesialis Bunuh Diri Bukan gegara Bully
“Dari diary bisa dilacak siapa seniornya. Tangkap dan penjarakan ! Enak saja mereka melenggang kangkung, cari mangsa lain.”
“Sudah bukan rahasia perlakuan senior ke junior dalam menempuh spesialis. harus ada tindakan tegas baik terhadap para pelaku, maupun Perguruan tinggi ybs. IDI harus dibenahi, bukan cuma hanya taahu duit”
“Thdp juniornya aja kejam...apalagi ke pasien ? Senior tuh anggap juniornya adalah \"calon pesaing\" yg bakal mengurangi \"lahan pasien\" mereka kelak. dokter Senior takut ga bisa kaya...”
Dari beberapa komentar yang ada, netizen mempercayai bahwasanya, hal-hal seperti ini sudah umum terjadi, dan menjadi budaya buruk yang diturun-temurunkan. Karena apa yang terjadi pada AR diketahui adanya pembullyan setelah korban meninggal dunia, dan catatan korban diketahui.
Baca juga: Mahasiswi Dokter Spesialis Bunuh Diri, Kemenkes Setop Prodi Anestesi Undip
Jadi kalau korban nggak meninggal, nggak ketauan dong?
Kemudian ada juga yang percaya bahwa dengan mengulik lebih lanjut terhadap buku catatan korban, seharusnya akan mempermudah penegak hukum dalam mengetahui siapa pelaku pembullyan yang terjadi.
Selain itu, apa yang telah disampaikan oleh Universitas Diponegoro adalah tidak mungkin, hal ini karena kondisi korban yang sudah putus asa. Sehingga tidak mungkin untuk korban berbohong atau memanipulasi kata-kata yang disampaikan kepada ibu korban dan pada buku catatannya.
Sehingga dari sini, netizen mendorong terus dan berharap banyak untuk penegak hukum mampu mengusut kasus ini hingga tuntas dan hingga sang pelaku “pembullyan” dapat diketahui dan dihukum, dengan hukuman yang setimpal.
Laporan: Andea Muhammad Abhista Andikaputra
- Penulis :
- Latisha Asharani