
Pantau - Sosial media kembali digemparkan dengan kabar seorang artis yang menikah dengan tujuan Lavender Marriage. Istilah ini dihubungkan dengan fenomena LGBT yang terjadi di beberapa negara luar. Dilansir dari Detikhealth, hal itu diduga karena seorang istri berakhir cerai karena mengetahui orientasi seksualnya. Dirinya mengaku, lebih dari sebulan tidak disentuh bahkan menolak untuk berhubungan intim.
Biasanya, pernikahan seperti ini dilakukan untuk menjaga nama baik di publik, terutama di negara yang menolak hubungan non-heteroseksual secara terbuka. Selain itu, Lavender Marriage biasanya juga dilakukan oleh kalangan artis atau orang terkenal yang dilakukan untuk menutupi orientasi seksual salah satu atau kedua pasangan.
Akhir-akhir ini memang pernikahan kaum LGBT menjadi isu yang marak diperbincangkan oleh media sosial. Jika sebelumnya pernikahan sejenis dilakukan secara sembunyi-sembunyi, saat ini bukan lagi hal tabu untuk dipertontonkan masyarakat luas. Terlebih di negara yang melegalkan pernikahan sejenis.
Dilansir dari artikel Badan Penelitian, Pengembangan, dan Pendidikan Komisi Nasional Perempuan yang berjudul “Dari Suara Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT)- Jalan Lain Memahami Hak Minoritas”. Istilah LGBT ini mulai lazim digunakan di era awal tahun 1990-an yang berperan sebagai “pemain pengganti” dari penyebutan "komunitas gay" pada kasus penyimpangan seksual.
Istilah ini dinilai lebih mewakili kelompok-kelompok penyimpangan seksual seiring dengan terkuaknya bahwa yang mengalami kelainan seksual bukan hanya kaum laki-laki saja. Istilah yang diakronimkan ini dibuat untuk meng-highlight keanekaragaman identitas seksual dan identitas gender yang semakin berani untuk “show up” ke permukaan
Kadang, istilah LGBT digeneralisir untuk semua orang yang tidak heteroseksual, bukan hanya homoseksual, biseksual, dan transgender. Maka dari itu, sekitar tahun 1996 seringkali huruf Q ditambahkan agar Queer (tidak memiliki orientasi seksual) dan orang-orang yang masih mempertanyakan identitas seksual mereka, tidak “sakit hati‟ karena tidak disebut atau merasa tidak dianggap ada. Sehingga, tak jarang beberapa ulasan baik secara ilmiah maupun konvensional menyebut istilah LGBTQ sebagai suatu akronim yang kompleks untuk menggambarkan objek kajiannya.
Faktor yang Memengaruhi Penyimpangan Seksual
Menurut Sarwono dan Sarlito W dalam bukunya yang berjudul Psikolog Remaja, dirinya menjelaskan mengapa penyimpangan sosial dapat terjadi, diantaranya:
Faktor Internal
Faktor ini berasal dari diri sendiri atau faktor keturunan. Perubahan hormonal yang meningkat hasrat seksual itu sendiri. Peningkatan hasrat ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual.
Faktor Eksternal
Keluarga
Orang tua yang membuat jarak kepada anak tentang permasalahan seksual kemudian mengakibatkan pengetahuan anak tentang seksual berkurang. Tujuan dari pendidikan seks dari awal adalah terhindar dari penyimpangan.
Penyebaran Rangsangan Seksual Melalui Media Massa
Penyebaran informasi yang tiada batas dan sulit difilter, hal tersebut tentu butuh pengawasan dengan baik karena akan memberikan dampak rangsangan seksual yang bisa menyebabkan penyimpangan seksual.
Lingkungan Pergaulan
Selain dari keluarga, disinilah individu memegang peranan penting dalam perkembangan karakter seseorang. Maka dari itu, penting memasuki sebuah pergaulan yang baik. Semakin permisif suatu lingkungan terhadap nilai kenormaan semakin kecenderungan untuk melakukan hal penyimpangan dari norma.
Pernah Menjadi Korban
Seseorang yang pernah menjadi korban pelecehan seksual atau pemerkosaan cenderung lebih rentan karena sudah merasa terlanjur terlibat.
Alkohol atau Narkoba
Minuman serta obat-obatan membuat seseorang dapat terpengaruh dan tak sadarkan diri, hal ini membuat orang melakukan hal-hal penyimpangan seksual.
Laporan: Aulia Rahma
- Penulis :
- Latisha Asharani
- Editor :
- Latisha Asharani