
Pantau - Bagi Gen Z, emotional detachment atau penghindaran emosi telah menjadi fenomena yang banyak dibicarakan. Konsep ini sering digambarkan sebagai cara untuk melindungi diri dari rasa sakit akibat hubungan platonis maupun romantis. Melalui esai, unggahan di TikTok, hingga media sosial lainnya, banyak anak muda, mulai mengadopsi pola pikir bahwa detachment bisa menjadi pelindung diri dari kekecewaan dalam hubungan.
Banyak anak muda yang mempopulerkan gagasan ini, mengajarkan bahwa bersikap “unbothered” atau tidak terpengaruh adalah kunci untuk bertahan di tengah tantangan emosional zaman sekarang. Namun, apakah sikap ini menjadi mekanisme coping atau justru membuat generasi ini semakin jauh dari esensi hubungan manusia?
Mengapa Emotional Detachment Populer di Kalangan Gen Z?
Di tengah perubahan cepat, ketidakpastian ekonomi, dan dominasi dunia digital, detachment emosional dianggap sebagai solusi instan untuk mempertahankan kendali atas hidup. Dengan tidak terlalu terikat, seseorang menghindari rasa sakit akibat kehilangan. Sikap “unbothered” yang banyak digemakan influencer pun menjanjikan kelegaan dari tekanan emosional, menjadikannya semakin menarik.
Baca juga: Ternyata Ini Alasan Banyak Perusahaan Pecat Karyawan Gen Z
Bagi banyak orang, tidak peduli menjadi cara untuk mengarungi hubungan yang serba cepat di dunia modern tanpa merasakan sakit hati. Namun, meskipun detachment memberi rasa kekuatan sementara, hal ini sering kali mengorbankan hubungan yang lebih mendalam dan memuaskan.
Risiko Budaya Emotional Detachment pada Gen Z
Emotional detachment mungkin memberikan rasa lega sesaat, namun ia juga bisa menyebabkan dehumanisasi. Meskipun melindungi diri dari rasa sakit, detachment mengurangi perasaan positif seperti cinta, kepercayaan, dan kebersamaan yang hanya bisa didapat melalui kerentanannya. Banyak anak muda melaporkan merasa “kosong” meskipun memiliki banyak teman, namun kesulitan untuk menjalin hubungan yang bermakna.
Aplikasi kencan yang memberikan ilusi pilihan tanpa batas semakin memperburuk kondisi ini. Hubungan terasa lebih seperti transaksi, menghilangkan kedalaman yang seharusnya ada dalam pertemanan atau asmara.
Baca juga: Mengapa Gen Z Sulit Cari Kerja? Ini Faktor Utamanya!
Apa yang Terlewatkan oleh Gen-Z dalam Emotional Detachment?
Sikap ini seringkali mengabaikan kenyataan bahwa emosi yang dihindari tidak akan hilang. Rasa sakit, kesedihan, dan kekecewaan akan menumpuk sebagai beban emosional yang tak terselesaikan, yang pada akhirnya bisa menciptakan masalah yang lebih besar di masa depan. Selain itu, ketidakmampuan untuk menghadapi emosi ini bisa menciptakan trauma generasional yang memengaruhi hubungan keluarga dan orang terdekat.
Emotional detachment juga dapat disalahgunakan untuk menghindari tanggung jawab atas tindakan yang merugikan orang lain. Juan Coley, seorang pekerja korporat dari Gen Z sebagaimana dikutip dari YourTango, mengatakan bahwa "Banyak orang menyembunyikan detachment hanya untuk mengambil apa yang mereka inginkan dan pergi."
Menemukan Keseimbangan antara Batasan dan Detachment
Ada perbedaan penting antara menetapkan batasan yang sehat dan mengadopsi emotional detachment total. Batasan memungkinkan seseorang untuk melindungi kesejahteraan emosional tanpa menutup diri dari hubungan yang bermakna. Detachment, sebaliknya, bisa menghalangi seseorang untuk terhubung sejak awal, menciptakan pendekatan hubungan yang kosong dan tidak berkelanjutan.
Baca juga: Gen Z Korea Selatan Tak Mau Bekerja di Sektor Pelayanan Publik, Mengapa?
Detachment harus dianggap sebagai mekanisme perlindungan sementara, bukan gaya hidup. Seperti yang dikatakan German Borrero, seorang Gen Z, “Detachment baik sebagai metode perlindungan, tapi bukan sebagai cara hidup.”
Ketahanan emosional sejati bukan berarti membangun tembok di sekitar perasaan kita, tetapi menguatkan diri untuk menghadapi tantangan hidup tanpa kehilangan potensi untuk menjalin hubungan yang dalam.
Dengan menerima keseimbangan antara batasan dan kerentanan, Gen Z dapat menikmati hubungan yang lebih bermakna tanpa takut terluka. Menghindari emosi tidak akan menyelesaikan masalah, sebaliknya, keberanian untuk menghadapi emosi bisa membawa kita menuju hubungan yang lebih sehat dan memuaskan.
- Penulis :
- Latisha Asharani