
Pantau.com - Gerakan #2019GantiPresiden menuai pro dan kontra di beberapa daerah di Indonesia. Dosen Filsafat Universitas Indonesia (UI) Rocky Gerung mengatakan, semakin banyak larangan terhadap gerakan itu, maka hanya akan membuat #2019GantiPresiden semakin banyak.
"Gini yah di dalam teori mutakhir tentang public relation itu, sesuatu yang tidak ada itu jadi ada setelah dilarang. Jadi hastag itu akan makin ada setelah negara membuat larangan," ucap Rocky di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 29 Agustus 2018.
Baca juga: Massa #2019GantiPresiden dan #2019TetapJokowi Deklarasi Bareng di Karawang, Apa Kata Polisi?
Selain itu, Rocky mengaku, tidak setuju jika gerakan #2019GantiPresiden disebut sebagai gerakan makar. Pasalnya, unsur-unsur untuk melakukan makar pun dianggapnya tidak terpenuhi dalam gerakan yang di inisiasi Mardani Ali Sera itu.
"Bukan kurang tepat, ngaco sebetulnya (yang menyebut makar). Istilah makar aja udah salah, artinya force full attack. Kalau orang baru pasang hastag di Riau, apa urusannya dengan situasi politik di Monas di depan Istana?," tuturnya.
"Kalau saya bilang ingin ganti Presiden jam 12 siang nanti, mungkin itu makar, kalau bisa dibuktikan pada jam 11 pagi ini saya sudah memgerahkan pasukan untuk kepung istana, itu namanya makar. Kalau cuma ngomong apa efeknya," lanjutnya.
Baca juga: Neno Warisman Enggan Ubah #2019GantiPresiden dengan #2019PrabowoSandi
Lebih lanjut, Rocky menyinggung pernyataan Presiden Joko Widodo yang pernah menyebut jika hanya kaos tidak akan bisa mengganti seorang Presiden. Untuk itu, katanya, tidak perlu ada penolakan terhadap gerakan #2019GantiPresiden.
"Ya pak Jokowi sendiri bilang jangan takut hastag, kalau cuma kaos apalagi cuma hastag yang ditempel di kaos. Bodoh sendiri kan," pungkasnya.
- Penulis :
- Sigit Rilo Pambudi