
Pantau - Selama masa kekuasaan Orde Baru, Presiden Soeharto menerapkan kebijakan dwifungsi ABRI. Kala itu, hampir seluruh kekuasaan eksekutif dikuasai oleh militer.
Penerapan konsep Dwifungsi ABRI tidak dapat terlepas dari sejarah perkembangan organisasi militer Indonesia.
Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, para perwira militer merasa memiliki hak yang sama dengan masyarakat sipil dalam hal penentuan kebijakan dan pelaksanaan bina negara.
Konsep Dwifungsi ABRI pada masa pemerintahan Orde Baru berawal dari gagasan Jenderal Abdul Harris Nasution yang disebut dengan konsep jalan tengah.
Konsep jalan tengah merupakan sebuah konsep yang menginginkan militer berperan sebagai alat pertahanan keamanan negara sekaligus berpartisipasi dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Pada perkembangannya, konsep jalan tengah Nasution diterapkan oleh Soeharto dalam kebijakan Dwifungsi ABRI.
Penerapan Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru sangat berpengaruh terhadap kondisi sosial dan politik Indonesia.
Melalui kebijakan itu, ABRI berhasil melakukan dominasi terhadap lembaga eksekutif dan legislatif Orde Baru.
Mulai tahun 1970-an, banyak perwira aktif ABRI yang ditunjuk sebagai anggota DPR, MPR maupun DPRD tingkat provinsi.
Selain itu, para ABRI juga menempati posisi yang penting dalam pengendalian arah politik dari organisasi Golkar.
Pada perkembangannya, pelaksanaan Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru mengalami penyimpangan oleh Soeharto dan beberapa oknum militer.
Keterlibatan militer dalam kehidupan sosial politik yang semakin mendalam mengakibatkan militer berubah menjadi alat kekuasaan rezim untuk melakukan pembenaran atas kebijakan pemerintah.
Atas dasar tersebut, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menghapus konsep dwifungsi ABRI. Ia kemudian memisahkan kembali antara militer dan polisi.
Kini, dengan adanya UU TNI dan Polri, prajurit aktif TNI/Polri tidak lagi diizinkan untuk memangku jabatan tinggi di lembaga eksekutif maupun legislatif.
- Penulis :
- Aditya Andreas